Dec 31, 2016

Published 9:42 AM by with 0 comment

Menunggumu

Menunggu itu melelahkan...
Aku pernah menunggu datangnya kereta
Kupandangi rel nya sampai tak kulihat lagi ujungnya, muak sekali rasanya
Aku pun pernah putus asa menanti kapankah sampai di puncak,
Pijakan kaki bagai sesosok monster yang mengerikan untuk kutapaki,

Tapi menunggumu menjadi hal yang berbeda,
Aku rela menunggu untukmu,
Kunikmati setiap menit bahkan detiknya,
Meski aku belum tahu pasti sampai kapan dan seperti apa akhirnya,
Namun yang aku tahu pasti aku kan sedia menunggumu,

3 Desember 2016
Puncak Lesung 1865 MDPL
Abd Whb

Read More
    email this       edit

Dec 19, 2016

Published 9:54 AM by with 0 comment

Aku, Gunung Agung, dan Jengkol

Akhir pekan ini, aku menyempatkan untuk pulang ke rumahku di desa untuk sekedar melepas rindu dengan keluarga, khususnya ibuku yang baru pulang benjenguk nenek yang sakit di kampung halaman, Karawang. kepulangannya membawa angin segar bagiku. Seharian ini siang dan malam aku dimanjakan dengan oleh-oleh makanan khas sunda, Jengkol yang dibawakan ibuku dari sana. Ibuku memasaknya spesial untukku yang sudah lama tidak mencicipinya, mengingat makanan ini jarang ada di sini. Mungkin lidah sunda yang kupunya yang membuat tidak ada kata bosan saat aku memakan jengkol. Pola makanku yang sudah tak teratur menjadi semakin tak teratur saat bertemu jengkol, hahaha. Tidak terhitung sudah berapa kali aku bolak-balik ke dapur untuk makan, tak terhitung pula keping jengkol yang aku lahap dengan olahan yang berbeda-beda. Hal ini akan terdengar aneh bagi sebagian orang yang tidak suka jengkol, khususnya teman-temanku di Bali. Lidah mereka tidak terbiasa dengan makanan beraroma menyengat ini. Tapi aku tidak peduli, mataku menjadi gelap seketika melihat semua masakan jengkol ini di rak makan. Yang aku tahu adalah seharian ini aku tidak akan pernah bosan dengan jengkol.

Kisahku dan jengkol hari ini, membuatku berpikir sejenak bahwa betapa aku sering melakukan hal yang sama berulang kali tanpa merasa bosan. Aku penasaran apakah orang lain pun pernah melakukan hal yang sama berulang-ulang kali tanpa ada rasa bosan hinggap dan sebaliknya malah mendapatkan kepuasan tersendiri? Kalau pernah, mungkin itu yang dinamakan dengan hobi. Aku yang duduk di lantai dapur sambil mengelus-elus perutku yang terisi penuh dengan si jengkol ini lalu teringat akan salah satu hobiku yang tak kalah aneh dengan jengkol tadi. Mendaki gunung, kegiatan ini telah menjadi hobiku sejak aku kuliah di UNDIKSHA dan bergabung dengan Mapala Loka samgraha, klub pecinta alam disana.

Seperti kisahku dan jengkol, tidak ada kata bosan bagiku untuk mendaki gunung. Hobiku ini telah menjadi candu bagiku. Setiap libur panjang, libur semester, atau hanya libur akhir pekan selalu aku sempatkan untuk mendaki. Meski belum begitu banyak pengalamanku dalam mendaki gununga, tapi pernah aku alami berbagai pengalaman unik dalam mendaki. Pernah aku mendaki 5 kali dalam kurun waktu 1 bulan tanpa rasa bosan dan lelah. Pernah pula aku mendaki gunung yang sama sebanyak 3 kali, gunung itu adalah Gunung Agung. Memang belum seberapa sih hehe, tapi buat orang orang disekitarku yang tidak pernah naik gunung selalu bertanya-tanya apa aku tidak bosan. Bosan ? aku rasa tidak, karena aku yakin dan memang demikian bahwa meski di gunung yang sama pasti kita akan mendapatkan suasana yang berbeda tak peduli berapa kali aku mendakinya. Coba mengutip perkataan soerang forest gump di filmnya yang mendeskripsikan tentang kehidupan “life was like a box of chocolates, you never know what you're gonna get” aku pun berpikiran bahwa gunung pun demikian adanya. Setiap aku mendaki past saja ada sensasi baru yang aku dapat, entah itu pemandangan, nilai moral, hal yang mengharukan, atau bahkan hal konyol yang akan terus mengundang tawa bila diceritakan. Gunung Agung yang bisa meyakinkan aku untuk berpikiran demikian. Meski baru 3 kali aku sampai di puncaknya, tapi kenangannya tidak akan habis diceritakan kawan. Di mulai dari upayaku yang terus gagal untuk mendakinya saat berbagai macam halangan yang datang, sampai akhirnya bisa berdiri di puncak tertingginya. 
Aku di jempol kaki Gunung Agung
Semua bermula pada tanggal 26 oktober 2014 saat itu aku diundang untuk hadir dalam acara pendidikan dasar sispala di Kubu, Karangasem. Tempatnya yang strategis berhadapan langsung dengan gunung yang satu ini kalau aku bilang sebagai jempolnya Gunung Agung. Megahnya puncak tertinggi Bali ini membuatku berpikir untuk mendaki gunung ini, namun masalahnya aku masih ragu dengan kemampuanku untuk berdiri disana. Sampai dimana aku merasa sanggup pun, impian itu belum juga terwujud. Kemudian, rencana awalku untuk mendaki Gunung Agung  pada tanggal 15 november 2016 sebulan kemudian pun berakhir gagal, karena ada persembahyangan.
Wajah lesu kami di Polsek Selat akibat gagal naik Gunung Agung
Pengalaman konyol itu  sepertinya buah dari kesombonganku yang akhirnya juga berangkat untuk mendaki Gunung Agung. Aku dengan sombongnya menggoda salah seorang ibu penjual jagung bakar di pinggar jalan. Bagaimana mungkin teriakannya dalam menjajakan jagung bakar aku jadikan bahan olok-olokan. “Jagung…. jagung… jagung…” teriakannya memanggil pembeli aku jawab seenaknya “iya bu saya mau ke agung” teman-temanku pun mentertawaiku. Akhirnya kami kualat dan gagal mendaki. Maafkan aku ibu penjual jagung.
Tanggal 1 Januari 2015 di Gunung Agung

Rupanya Tuhan berkehendak lain aku akhirnya bisa mendaki Gunung Agung untuk pertama disaat yang sepesial di malam pergantian tahun baru 2015. Dari atas aku menyaksikan langsung pesta kembang api di sebagian luas wilayah Bali. Luar biasa pkirku saat itu.  Sayang tidak ada kamera bagus yang bisa menagkap moment itu, tapi tidak dengan mataku yang merekam moment langka ini. Suasana indah awan yang bertebaran di bawah kami juga melengkapi pendakian saat itu.


Lain halnya dengan pendakian kuyang kedua, waktu itu aku mengantarkan kawan-kawan Mapala Garba Wira Bhuana yang sedang melakukan ekspedisi. Kami mengantarkan mereka ke Batur an Agung sekaligus. Walaupun diguyur hujan terus-menerus, banyak moment indah yang aku dapat.  Sunset yang cantik, saat kami memutuskan untuk bermalam di Telaga Emas.
Candid sambil menikmati sunset
Pengalaman unik dan langka saat kami bertemu dengan rombongan orang yang sembahyang. Mereka lengkap dengan pakaian adatnya sembahyang menuju puncak dengan membawa sesajian yang lengkap.  Yang paling tidak disngka-sangka kami melihat mereka membawa hewan persembahan yang masih hidup. Ada Angsa, Ada pula anak kambing yang digendong di pundak, dan bahkan ada juga kerbau yag ditarik dan didorong menanjak melewati trek yang sangat terjal. Awalnya aku tidak percaya dan mengira itu mimpi, tapi akhirnya sadar bahwa itu nyata, setelah mendengar bunyi kambing dan kerbau itu. Kami tak habis pikir bagaimana mereka bisa membawanya sampai ke atas sana. pastinya membutuhkan perjuangan yang keras.
Kerbau ini yang membangunkan kami
Setelah sampai dipuncak pun kami beruntung bisa mendapatkan pemandangan yang luar biasa indah. Sungguh alam tidak bisa diprediksi, hujan yang tak hentinya mengguyur kami di perjalanan berhenti segera setelah kami sampai di puncak. Kami yang semula hanya ingin sampai dipuncak saja mendapat bonus pemandangan yang indah. langit seketika cerah, kami bahkan bisa melihat puncak Rinjani di pulau Lombok sebrang.
Gunung Rinjani terlihat mengintip
Yang terakhir pada bulan kemarin aku kembali mendaki gunung Agung bersama kawanku dari Mapala Brimpals, Palembang. Pendakian kali ini kami mencoba meraih puncak sejati via Pura Pasar Agung. Setelah dua kali mendaki hanya puas dengan puncak Pasar Agung, akhirnya aku bisa sampai di puncak Sejati Gunung Agung. Meski pemandangan di puncak tidak cukup bagus karena kabut, melalu jalur ini aku menemukan ladang bunga edelewis, sang bunga abadi.
Edelweis
Suasana perjalanan pun sangat berkesan. Hanya kami yang melewati jalur ini saat itu, karena memang belum ada yang banyak mengetahui jalur ini.
Hanya kami berempat dan beberapa monyet gunung

Akhirnya puncak sejati

Aku tidak tahu kapan akan menginjakan kakiku disana lagi. Rasa kangen selalu hinggap jika diingat-ingat suasana saat mendaki gunung ini. Rasa penasaranku pun tak pernah habis akan gunung ini. Apalagi ada beberapa jalur pendakian Gunung Agung lain lagi yang belum pernah aku coba. Sepertinya aku harus mencoba jalur –jalur pendakian itu lain waktu. Ya, aku ingin dan harus mendaki gunung Agung lagi. Apa tidak bosa ? Sekali lagi, jangan pernah tanyakan pertanyaan itu padaku, karena jawabannya jelas tidak, hehehe. Kalau pun aku berhenti sejenak karena itu hanya karena lelah, segera setelah kondisiku membaik aku siap untuk pendakian selanjutnya. Tidak jauh beda dengan kisahku dan jengkol hari ini, karena segera setelah tulisan ini selesai, aku akan lanjutkan kisahku itu mengingat perutku kembali lapar. Semur Jengkol aku datang.

Dapur Rumah
Minggu, 18 Desember 2016
Read More
    email this       edit
Published 9:33 AM by with 0 comment

Gunung Batukaru yang Bersahaja

Aku masih di sini di teras depan sekretariat kami menunggu hujan reda malam ini. Gemericik hujan rintik-rintik seakan menjadi irama pengantar menuju malam yang sunyi. “seruput” merdu bunyi kopi yang kuteguk pun menjadi pelengkap irama rintik hujan. Sambil menikmati kopi khas banyuatis di malam ini kupandangi hujan yang tak kunjung reda sedari tadi siang. Lama sekali hujan ini pikirku. Kadar kafein yang pekat dan has dari kopi menyadarkanku bahwa memang sudah saatnya musim penghujan akhir tahun 2016 tiba. Tak terasa sudah akhir tahun saja rupanya. Terlintas dalam benakku lembaran-lembaran kisah hidupku selama setahun ini. Semakin kuingat-ingat, semakin asyik pula kuteguk kopiku. “Serrrruuuppuuut” ku teguk lagi kopiku lebih dalam.
Aku yang tak bisa kemana-mana ini semakin khusuk  saja memandangi rintik hujan sambil membayangkan pengalaman selama setahun kebelakang. Rintik hujan perlahan turun ke ranting-ranting, membasahi dedaunan di pohon lalu kemudian jatuh menggenang di tanah. Hangatnya kopi dan pemandangan yang kusaksikan ini tidak disangka telah membawaku jauh terlempar dalam kenangan manis sebuah pendakian yang telah aku lakukan. Pendakian yang dimaksud adalah pendakian Gunung Batukaru via Pujungan awal tahun ini.  
Persiapan turun dan pembersihan jalur
Suasananya sama persis seperti sekarang ini, hujan sepanjang hari sampai malam, pepohonan dan tanah semua basah. Suhu terasa dingin, hanya kopi ditanganku yang hangat. Sepertinya Gunung dengan ketinggian 2.475 mdpl ini telah mendapatkan tempat khusus di benakku. Gunung kedua tertinggi di Bali ini telah menyimpan kenangan yang indah di balik hutannya yang lebat. Memang, setiap aspek dari gunung yang terletak di Kabupaten Tabanan ini bisa memberikan kekaguman tersendiri pada orang yang menikmatinya. Ada banyak hal menarik yang bisa kita alami saat mendaki gunung ini, mulai dari ke asrian hutannya, ramahnya penduduk sekitar kaki gunung, situs pura (tempat persembahyangan umat hindu) yang disucikan, dan trek terjalnya yang cukup menantang. Semuanya itu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi orang yang mendakinya.
Salah satu patung kuno

Sudah dari zaman dulu kala, gunung yang dulu menjadi tempat bertapa orang-orang suci memang punya tempat tersendiri di hati masyarakat sekitar gunung dalam hal ini masyarakat Kab.Tabanan. Terbukti bila kita lihat lambang Kab. Tabanan terdapat gambar gunung ini sebagai latarnya. Gunung non aktif ini nyataannya telah memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitarnya dengan sumber mata air dan sumber daya alam lainnya yang disediakan. Saat aku mendaki gunung ini terlihat jelas dimana hasil alam yang melimpah berupa perkebunan dan hasil hutan lainnya telah membantu kehidupan masyarakat disana. Alam dalam hal ini Gunung Batukaru telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Diantara gunung-gunung lain di Bali, gunung yang satu ini merupakan salah satu gunung yang masih asri hutannya. Salah satu penyebabnya adalah masih sedikit orang yang mendaki kesini dibandingkan dengan gunung lain seperti halnya Batur dan Agung. 
Trek yang jelas meski kanan kiri pohon lebat

Hal lain yang memberi kesan dari gunung ini ialah penduduk sekitar gunung yang bersahabat.  Sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa warga pedesaan yng tinggal di kaki gunung pasti ramah dan bersahaja dengan pendatang atau tamu. Ya, tak terkecuali dengan warga di sini. Aku punya pengalaman menarik dengan warga disini yang mendasari pandanganku tentang mereka. Pertama kali aku mendaki disini, aku turun dengan kondisi yang capek mengingat pendakian itu merupakan survey sekaligus aksi kecil-kecilan membersihkan sampah di gunung. 
Orang-orang kurang kerjaan :D

Hujan yang terus menerus semakin menambah berat beban barang bawaanku, ditambah gendolan sampah sebanyak 3 buah trash bag besar. Dan bagian yang mengharukan adalah disaat kami sampai dan istirahat di parkiran motor, seorang pemangku pura tanpa diminta membawakan kami 3 keranjang besar berisi makanan berupa buah-buahan, roti, telur dan makanan lainnya. Sambil melontarkan senyum tulusnya ia mempersilahkan kami untuk menikmati suguhan itu. Kawan-kawanku yang kecapekan dengan kondisi pakaian yang hancur lebur setelan khas ala pendaki gunung yang sudah berhari-hari di hutan, dengan lahap menikmati pemberian itu. Saat itu yang kupikirkan bukan pada pemberiannya. Meskipun aku tahu makanan itu adalah ‘lungsuran’ (makanan yang dipersembahkan untuk sebuah persembahyangan), namun aku melihat niat tulusnya yang bahkan masih berpakaian adat, hujan-hujanan, masih sempat ia memberikan makanan itu. Sungguh pengalaman yang mengharukan.
Makan boleh, tapi inget nafas
Satu hal lain yang lagi-lagi membekas dihatiku tentang Batukaru ini adalah suasana religious kental terasa. Bila mendaki gunung ini lewat Desa Pujungan, maka kita akan menemui Pura Besar yang satu terletak dikaki gunung sebelum mulai mendaki bernama Pura Malen dan kedua ada di Puncak yaitu Pura Pucak Kedaton. 

Sering diadakan persembahyangan disini. Hampir setiap hari , ada saja Umat hindu di seluruh Bali yang terlihat melakukan persembahyangan di sini. Dan pendakian pertamaku saat itu pun bertepatan  dengan hari besar bagi umat hindu saat itu yakni hari raya Siwa Ratri. Hari raya dimana umat hindu melakukan persembahayangan kepada Dewa Siwa, biasanya mereka tidak tidur semalaman. Kalau kalian tahu bagaimana rasanya pergi ke pesta dengan salah kostum, begitu lah yang kami rasakan kala itu. Orang-orang berpakaian putih-putih lengkap dengan perlengkapan persebahyangan telah memadati area parkiran dan halaman pura. Berbondong-bondong ada yang menunggu giliran, ada yang bersenda gurau dengan keluarga dan ada pula yang sedang makan sambil bercengkrama. Sedangkan, ketika pandangan diarahkan ke kami, sebaliknya pemandangan berputar 180 derajat. Kami dengan setelan khas pendaki gunung kere, dengan cerier 85 L isi full kokoh dipundak kami bersiap-siap untuk mendaki. Kami merasa kikuk awalnya saat semua mata tertuju ke arah kami, namun segera kami membiasakan diri. 
Bersama bapak pemangku, alumni sispala Prana Giri, cerrier kami, sampah plastik dan makanan yang sudah masuk ke perut :D
Itu lah yang terjadi saat itu. Mereka umat hindu melakukan persembahyangan di pura-pura yang ada di sana termasuk Pura Puncak Kedaton, di puncak Gunung Batukaru. Jadi sepanjang perjalanan kami beberapa kali menemui orang berpakaian adat, baik ia yang turun dan telah selesai sembahyang ataupun yang baru akan naik kepuncak. Uniknya mereka kepuncak dengan pakaian sembahyang seadanya dengan sandal dan kamben, sangat berbeda dengan kami. Bahkan, sampai di puncak pun kami habiskan malam bersama beberapa diantara mereka yang ‘mekemit’ (bergadang) di pelataran pura. Aku ingat betul sesekali kami saling diskusi dan sekedar berbagi kopi dan snack. Lelah dan pegal akibat trek yang terjal pun lumayan terobati dengan hangatnya diskusi kami kala itu. Betapa malam itu menjadi terasa khidmat sekali, hujan gerimis pun menjadi tidak terasa. Sungguh merupakan pengalaman pertama yang aku alami, mendaki dengan suasana religious yang kental terasa di Gunung Batukaru.

Itulah momen-momen yang terekam dalam ingatan tentang pengalamanku bersama Gunung Batukaru. Cukup berkesan untuk mengenalkanku lebih jauh tentang Bali dan keindahan alam dan budayanya. Dari gunung ini bukan hanya kepuasan sesaat akan keindahan sunset atau sunrise yang orang-orang cari saat mendaki gunung, tapi lebih dari itu nilai-nilai kehidupan banyak aku dapatkan. Bila ditarik satu garis kesimpulan, dari Gunung Batukaru aku belajar satu konsep umat hindu di Bali yaitu “Tri Hita Karana” yang berarti hubungan yang saling berkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan. Bila kita mampu menjaga hubungan tersebut dengan baik maka hidup akan terasa harmonis tentunya, kurang lebih seperti itu. Bila diingat-ingat kembali, kangen juga untuk mendaki kesana. Meski sudah 2 kali kesana, sepertinya aku tidak akan pernah bosan untuk kesana lagi lain waktu. 
Abaikan gaya rambut kami
“Srupuutt….putt…putt…” akhirnya aku tiba pada tegukan terakhir kopiku dan hanya menyisakan ampasnya yang menumpuk di dasar gelas. Hujan pun mulai reda hanya menyisakan tetesan-tetesan air hujan di dedaunan pohon depan halaman. Lamunanku tentang Gunung Batukaru pun berakhir pula, hanya menyisakan aku yang terduduk sendiri di teras ‘kandang’ (sebutan khas untuk sekretariat Mapala Lokasamgraha UNDIKSHA). Selain membuat badan hangat, sayangnya kini aku terkena efek lain kafein kopiku tadi. Aku menjadi tidak ngantuk meski jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Akhirnya kembali kubiarkan, imajinasiku melayang jauh lagi menembus malam, mengingat momen-moment menarik selama setahun ke belakang. Tidak ada kopi lagi yang menemani, namun kali ini gitar yang menyertaiku.

16 Desember 2016
Teras depan Sekretariat MPA LS UNDIKSHA
Read More
    email this       edit

Nov 9, 2016

Published 11:13 AM by with 0 comment

Taman Baca Terpadu: Akselelator Pendidikan di Pelosok Desa

Pernahkah kita berpikir bahwa tidak cukup kaya kah Indonesia untuk membiayai pendidikan di setiap penjuru negerinya ? Pertanyaan lain yang mengusik benak kita adalah kenapa di umurnya yang ke 72 tahun Pendidikan di Indonesia masih belum merata secara menyeluruh ? Indonesia sebagai negara yang kaya semestinya tidak akan mengalami kesulitan dalam membiayai pendidikan dan meratakannya sampai ke pelosok negeri. Semua orang bahkan dari negara lain pun mengakui akan melimpah ruahnya kekayaan sumberdaya alam Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia adalah negara yang kaya. Tercatat sejumlah 20 % dari APBN dianggarkan untuk biaya pendididikan. Jumlah yang fantastis untuk sebuah negara berkembang. Namun mirisnya, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Indonesia merupakan negara berkembang yang masih memiliki daerah-daerah tertinggal dengan pendidikan yang masih terbelakang. Angka menunjukan kenyataan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia masih sangat membumbung tinggi, yaitu sebanyak 3,56 persen penduduk Indonesia atau sebanyak 5,7 juta orang masih buta aksara. Angka yang sungguh disayangkan.
Tidak sulit rasanya untuk memajukan pendidikan apabila pemerintah mampu mengerahkan tenaga semaksimal mungkin dan mengoptimalkan pembangunan dalam bidang pendidikan. Manajerial yang lemah lah yang menjadi poin permasalah. Inilah yang menjadi PR kita bersama. Tugas Pemerintah pusat dalam mengelola anggaran demi melaksanakan pembangunan pendidikan yang efektif. Tugas kita pula sebagai masyarakat secara umum untuk ambil bagian dalam mengawal kinerja pemerintah. Kalau memang pemerataan pendidikan terhambat oleh birokrasi yang berbelit, kemampuan manajerial yang lemah dari pemerintah pusat, kenapa tidak kita mulai dari Desa.
Desa diibaratkan sebagai sebuah akar yang menentukan kokoh tidaknya sebuah negara sebegai batang pohonnya. Dengan memaksimalkan fungsi dan potensi desa-desa diseluruh penjuru negeri, maka Indonesia hanya tinggal menunggu waktu untuk memanen hasilnya. Indonesia akan menjadi negara yang kaya tentunya. Desa bisa menjadi sumber kekuatan ekonomi dengan syarat pemerintah pusat mau mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Ironisnya sekian banyak potensi telah terabaikan dengan alasan terhalang dana yang tidak memadai. Salah satu dari sekian banyak potensi yang disayangkan belum dimaksimalkan ialah sumber daya manusianya (SDM).
Terkhusus di desa 3T (Terdepan, terpencil dan tertinggal) di seluruh Indonesia, pendidikan sebagai bentuk nyata dari upaya peningkatan SDM masih menjadi barang langka untuk diperoleh. Namun, akhir-akhir ini pemerintah memberi angin segar dengan adanya program 1 Miliyar untuk desa. Harapan pun mulai terbit dan menyinari keputusasaan masyarakat desa khususnya di desa 3T. Pemerintah telah menyiapkan dana desa tahun ini, dengan total nominal yang direncanakan sebesar Rp 20,7 triliun. Beberapa diantaranya sudah didistribusikan langsung ke desa. Dana yang difokuskan pada tiga poin penting yakni pembangunan yang meliputi infrastruktur, pendidikan dan kesehatan ini diambil langsung dari APBN. Dana ini nantinya diharapkan dapat dikelola secara mandiri langsung oleh desa terkait.
Adanya program dana desa ini mestinya menjadi peluang yang bagus untuk mempercepat geliat pendidikan di desa 3T. Namun, yang menjadi pertimbangan lain adalah membangun suatu sistem pendidikan yang baik tidaklah mudah. Semuanya harus dilakukan secara bertahap. Dana sebesar itu pun belum lah cukup untuk mancangkup setiap aspek pendidikan baik itu dari segi fasilitas penunjang pendidikan ataupun tenaga pendidik yang berkualitas. Dalam kasus di desa 3T dana sebanyak itu masih belum cukup untuk membangun pendidikan yang bisa dibilang dari ‘nol’. Maka dari itu, perlu direncanakan strategi yang tepat untuk memanfaatkan dana itu agar lebih effektif penggunaannya.
Memperhatikan skala prioritas dalam pengelolan dana desa  ini sangatlah diperlukan, mengingat tidak semua dana yang dikucurkan diperuntukan untuk pendidikan. Pemerintah di desa pun perlu bersinergi dengan seluruh elemen masyarakat dalam membangun pendidikan dengan dana ini. Setidaknya sebagian dana yang disisihkan cukup untuk merangsang percepatan pembangunan pendidikan. Rangsangan tersebut bisa dalam bentuk sebuah wadah pendidikan yang bisa menarik simpati elemen masyarakat lainnya untuk berpartisipasi aktif membantu. Tidak muluk-muluk membangun pendidikan di daerah 3T bisa dimulai dengan membangun sebuah Taman Baca  Terpadu. Ini merupakan Hal yang kecil namun sejatinya adalah hal mendasar bagi pendidikan di desa. Dengan adanya Taman Baca Terpadu ini akan memberikan rangsangan bagi setiap elemen masyarakat bahwa pendidikan itu penting. Dari sanalah akan timbul partisipasi aktif dari masyarakat untuk memajukan pendidikan di desanya.
Lalu kenapa harus berupa taman baca yang mejadi pilihan ? Sejauh ini bila ditilik lebih jauh lagi dari kebutuhan masyarakat Indonesia secara umum taman baca adalah pilihan utama. Saat ini minat membaca masyarakat Indonesia sangat lah rendah, begitu pula halnya dengan para anak-anak. Pada tahun 2011, UNESCO telah melakukan survey terhadap minat baca masyarakat Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan, minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001 persen. Ini berarti dari seribu masyarakat, hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat membaca. Padahal kita tahu bahwa kemampuan literasi merupakan salah satu indikator  kemajuan pendidikan di suatu negara. Kemudian jumlah fasilitas yang mendukung dalam meningkatkan minat baca pun sangatlah minim. Jangankan di pelosok desa, di Kota yang sudah maju saja, jumlah perpustakaan bisa dihitung dengan jari. Jumlah yang jauh bila di bandingkan dengan jumlah pusat perbelanjaan atau tempat hiburan lainnya. Sungguh menyedihkan sekali kondisi ini.
Alasan lain dipilihnya taman baca sebagai solusi percepatan pembangunan pendidikan ialah pebiayaan yang terjangkau dan realistis. Dana yang terbatas semakin menguatkan pilihan untuk membangun sebuah taman baca. Bila dibandingkan dengan membangun sebuah sekolah dengan fasilitas lengkap di sertai dengan tenaga pengajar yang berkualitas jauh sangat berbeda. Dana yang dihabiskan akan sangat melambung, sedangkan hasil yang diperoleh belum tentu sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Perlu diingat kembali bahwa dana desa untuk pendidikan pun dibatasi. Selain itu dari segi pengelolaan, taman baca ini tidak terlalu menguras upaya yang keras. Koleksi buku bisa disirkulasikan dengan taman baca dari perpustakaan lain. Kemudian dari segi pelaksanaanya, kedepan taman baca ini bisa dikembangkan menjadi pusat pembelajaran yang mengasyikan bagi anak-anak di pelosok. Oleh karenanya wadah ini diberi nama dengan Taman Baca Terpadu. Taman baca ini selain menyediakan buku-buku yang menarik untuk dibaca, juga menyediakan fasilitas taman bermain dan juga fasilitas penunjang lain seperti computer. Dengan demikian minat membaca khususnya bagi anak-anak di pelosok akan meningkat.
Kalau selama ini kita dipusingkan dengan permasalahan tentang buruknya sistem pendidikan formal di negeri ini, kenapa tidak kita perbaiki pendidikan melalui pendidikan informal? Pendidikan informal bisa menjadi lebih baik dari informal tergantung pada bagaimana kita mengelolanya. Sudah banyak bukti tentang kualitas lembaga pendidikan informal yang dibangun oleh pihak swasta.  Dengan menggandeng instansi lain atau LSM yang bergerak di dunia pendidikan stok buku berkualitas akan sangat mudah diperoleh. Ya, tidak hanya minat masyarakat dalam membaca meningkat, taman baca ini dapat merangsang elemen masyarakat lain untuk berpartisipasi aktif mensukseskan akselerasi pembangunan pendidikan di desa 3T.
Bayangkan bila hal ini direalisasikan di setiap desa khususnya di desa 3T, apa yang akan terjadi ? Nuansa gemar membaca akan terasa dalam setiap sudut desa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan di kalangan masyarakat semakin menigkat. Pemerintah akan melirik hal ini sebagai batu loncatan ke arah pendidikan yang lebih baik. Masyarakat melalui LSM, para pemerhati pendidikan mendapatkan lahan yang lebih luas untuk menyalurkan bantuannya, yang paling sederhana berupa buku. Pada akhirnya, dengan optimisme, pendidikan di desa 3T akan mengalami kemajuan yang pesat walau dari hal kecil berupa Taman Baca Terpadu.
Read More
    email this       edit
Published 10:54 AM by with 0 comment

Abang Bukan Agung : Laporan Perjalanan untuk dijadikan pelajaran

Ini merupakan laporan perjalanan kami saat gagal melakukan pendakian gunung Agung dua tahun silam.  Walaupun kejadian ini sudah cukup lama kami alami,  tapi saya merasa perlu untuk membagikan pengalaman ini disini. Pertanyaannya adalah kenapa bisa sampai gagal ? Bagaimana kami melalui kegagalan itu ? Lalu hikmah dan pelajaran apa yang kami peloreh dalam perjalanan kami ini ? 
  Jumat, 14 November 2014
Pada jumat Malam, kami tim pendakian melakukan persiapan untuk pendakian besok harinya. Persiapan dilakukan secara individu di rumah masing-masing namun tetap melakukan koordinasi via telepon. Persiapan yang kami lakukan ialah menyiapkan perlengkapan dan juga logistik yang dibutuhkan. Kami berbelanja di pasar untuk melengkapi perbekalan logistik kami. Persiapan kami lakukan sematang mungkin. Kami juga membuat checklist perlengkapan yang kami bawa secara detail. Persiapan belum selesai sedangkan waktu sudah larut malam sehingga kami memutuskan untuk melanjutkan persiapan kami esok harinya. Kami sepakat untuk berkumpul di sekretariat Mapala Loka Samgraha besok pada pukul 10 pagi untuk kemudian berangkat bersama-sama ke tempat tujuan.
Sabtu, 15 November 2014
Pada pukul 6 keesokan harinya, kami melanjutkan persiapan yang belum selesai. Persiapan tersebut ialah meminjam perlengkapan pendukung dari Mapala Loka Samgraha, dan membeli perlengkapan lainnya seperti spirtus. Dalam pendakian kali ini perlengkapan pendukung yang kami pinjam yakni Tenda 1 buah, GPS 1 buah, Kompas 2 buah, nesting 1 set, dan kamera 1 buah. Waktu menunjukan pukul 10, beberapa anggota tim sudah terlihat berkumpul di sekretariat. Persiapan sudah selesai dilakukan dan checklist perlengkapan (checklist perlengkapan terlampir) pun sudah dibuat dan di tempel di sekretariat. Kami berempat pun siap untuk berangkat menuju gunung Agung.
Rencana awal untuk berangkat pada pukul 10 tidak bisa dijalankan karena ada penambahan personil secara mendadak yakni Kanda ALB. Mas Ahmad Fauzi. Beliau memutuskan untuk ikut melakukan pendakian pada saat bertemu kami di sekretariat. Akhirnya kami menunggu beliau pulang ke rumahnya di Dencarik untuk melakukan persiapannya dengan ditemani oleh Suartama. Sembari menunggu beliau kami melakukan pengecekan perlengkapan kami kembali. Akhirnya Suartama dan mas Fauzi kembali pada pukul 12.00 WITA, setelah semua anggota tim berkumpul kami melakukan briefing dan pengecekan ulang sekali lagi. Setelah semua persiapan sudah fix, sebelum berangkat kami berdoa bersama dan mendengarkan arahan dari teman-teman yang tidak ikut mendaki seperti saudara Widiadnya. Tepat pukul 13.00 WITA kami berangkat dari sekretariat menuju Kabupaten Karangasem menggunakan sepeda motor, kami menggunakan 3 sepeda motor, 2 motor di gunakan bergandengan dan 1 motor dikendarai oleh 1 orang.
Di perjalanan menuju Karangasem kami sempat beberapa kali berhenti sejenak, pertama di pertamina sangket untuk mengisi bensin motor kami. Kemudian, kami juga sempat berhenti di Penelokan Bangli untuk istirahat sejenak. Sambil istirahat, disana kami membeli bakso dan mengambil beberapa foto keindahan gunung Batur. Namun, di tempat ini Wahab kehilangan jaket jurusannya. Ia tidak sadar untuk menaruh jaketnya dengan baik. Setelah istirahat kami rasa cukup, Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Karangasem. Tidak jauh dari penelokan ada pemeriksaan yang dilakukan oleh beberapa polisi. Kami pun berhenti dan memberikan surat-surat yang diminta. Kami juga menjelaskan bahwa kami akan mendaki gunung Agung. Setelah pemeriksaan selesai kami dipersilahkan melanjutkan prjalanan.
Tepat pukul 15.48 WITA kami sampai di polsek selat, Karangasem untuk melaporkan pendakian yang akan kami lakukan. Di sana kami bertemu dengan polisi yang bertugas. Mereka terlihat bersahabat dan komunikatif, sehingga kami merasa nyaman untuk menyampaikan maksud kedatangan kami. Kami menjelaskan kepada mereka bahwa kami anggota dari Mapala Loka Samgraha UNDIKSHA akan melakukan pendakian ke gunung Agung. Namun, sangat disayangkan petugas tersebut menyampaikan bahwa pada saat ini pendakian ke gunung Agung untuk sementara tidak diperbolehkan. Hal ini dikarenakan masih adanya persembahyangan di Pura Pasar Agung yang sudah berlangsung selama hampir sebulan kebelakang. Ini dimaksudkan agar tidak mengganggu kekhusukan persembahyangan yang diadakan. Beliau menjelaskan bahwa informasi penutupan jalur pendakian ini sudah dipublikasikan di berbagai media seperti dalam Koran Bali Post. Informasi tersebut mengatakan bahwa pendakian baru diizinkan kembali mulai tanggal 21 November 2014. Beliau sangat menyayangkan bahwa kami tidak bisa melanjutkan pendakian, tapi apa boleh buat, ini semua dilakukan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Kami sangat menyayangkan hal ini bisa terjadi. Persiapan yang sudah sedemikian rupa terasa percuma setelah mengetahui kami tidak bisa melanjutkan pendakian ke gunung Agung. Ini adalah kesalahan kami yang tidak mengecek terlebih dahulu secara detail tentang perizinan pendakian gunung Agung. Perlu diketahui bahwa gunung Agung adalah gunung yang sangat disucikan oleh umat hindu di Bali. Di gunung Agung tepatnya di Pura Pasar Agung sering diadakan upacara keagamaan pada hari-hari tertentu setiap tahunnya. Jadi, untuk selanjutnya setiap pendakian ke gunung Agung harus mencari informasi yang valid mengenai perizinan mendaki gunung Agung, ada atau tidak tidaknya persembahyangan di sana. Informasi bisa didapat dengan menghubungi polsek selat atau dengan mencari informasi di media sosial atau pun di Koran Bali Post. Di sisi lain kita juga bisa mencari informasi dari relasi atau teman kita sesama pendaki.
Menyadari bahwa pendakian gunung Agung saat itu sudah tidak mungkin  dilanjutkan, untuk sementara kami melupakan keinginan untuk mendaki gunung Agung. Kemudian, kami pun mencari gunung pengganti agar perjalanan dan semua perlengkapan serta logistic yang sudah di beli tidak percuma. Setelah berdiskusi sejenak, kami pun sepakat untuk mendaki gunung Abang yang berada tidak terlalu jauh dari gunung Agung. Kami merasa gunung Abang juga memiiki keunikan dan keindahan tersendiri. Gunung Abang yang memiliki ketinggian 2169 M dpl. ini memiliki medan yang cukup menantang, sehingga cocok untuk dijadikan latihan untuk mendaki gunung Agung yang lebih menantang. Dengan pertimbangan itu kami pun mengubah rencana awal kami dengan pendakian ke gunung Abang.
Pada pukul 15.55 WITA kami pun pamit dengan pihak polsek selat dan berangkat menuju gunung Abang di kabupaten Bangli. Kami sampai di pos pendakian gunung Abang pada pukul 17.30 WITA untuk melapor. Disana kami bertemu dengan petugas yang tengah berjaga. Beliau menjelaskan bahwa untuk melakukan pendakian ke gunung Abang kita perlu mengeluarkan biaya masuk sebanyak 200 ribu per kelompok yang berjumlah 5 orang dengan ditemani 1 orang pemandu lokal. Kami merasa ini merupakan jumlah yang cukup besar. Kami mencoba melakukan lobiying dan akhirnya kami hanya dikenai biaya 50 ribu dengan asumsi kami tidak ditemani pemandu lokal. Selain itu juga kami jelaskan bahwa kami akan melakukan pembersihan  di jalur yang kami lalui. Kami merasa beruntung petugas tersebut cukup bersahabat. Sebelum kami berangkat, beliau memberikan sedikit arahan kepada kami. Beliau menjelaskan bahwa disepanjang perjalanan menuju puncak gunung Abang kami akan menemukan beberapa pura yang disucikan, kami dihimbau untuk melakukan persembahyangan yang dimaksudkan untuk memohon izin untuk melakukan pendakian. Beliau juga menghimbau agar selama perjalanan kita harus menjaga etika dan tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. 

Setelah masalah administrasi diselesaikan kami membeli perlengkapan sembahyang yakni canang sari dan dupa, kemudian melakukan persembahyangan di pura dekat pos pendakian(Pura pertama). Setelah selesai kami pun berangkat menuju ke tempat dimana kami memarkir motor kami tapi sebelumnya kami titipkan helm kami terlebih dahulu di pos pendakian. Ditengah perjalanan menuju tempat kami memarkir motor, kami menemukan pura (pura ke dua) lagi dan kami pun sembahyang lagi. Setelah itu kami kembali mengendarai motor, dan tidak jauh dari pura sebelumnya kami kembali menemukan pura lagi(pura ke tiga), namun kali ini pura yang kami temukan sedikit berbeda. Di pura ini kami banyak menemukan patung-patung yang sangat unik, dan sedikit menyerupai manusia. Patung-patung tersebut terlihat memenuhi area pura dengan disusun sedemikian rupa, sepertinya patung-patung tersebut sangat disakralkan oleh warga sekitar. Ukurannya pun beragam ada yang kecil bahkan ada yang besar hampir seukuran manusia. Disana kami bersembahyang dan tidak lupa kami juga mengabadikan pura-pura tersebut dengan mengambil beberapa gambarnya. Setelah itu, tidak jauh dari pura tersebut kami sampai di tempat dimana kami memarkirkan motor kami. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami berdoa sejenak dan setelah itu kami pun mulai berjalan kaki melalui jalan setapak, dimana saat itu waktu tepat menunjukan pukul 18.18 WITA.

Diawal perjalanan tidak ada kendala yang berarti bagi kami, semua berjalan sesuai yang diharapkan. Pada saat kami mulai perjalanan hari sudah cukup gelap sehingga kami menyiapkan alat penerangan dan menaruhnya di luar cerier agar mudah diambil. Formasi tim pun kami atur sedemikian rupa agar perjalanan menjadi lebih efektif. Suartama sebagai leader ia memimpin di depan, ini dikarenakan hanya dia yang tahu jalur pendakian gunung Abang. Kemudian disusul oleh wahab dan lingga. Selanjutnya ada agasi dibarisan ke 4. Dan terakhir adalah Mas Fauzi diurutan terakhir sebagai sweeper. Adapun Trek yang kami lalui tidak terlalu sulit masih terbilang cukup landai. Sebagian besar trek yang kami lalui berupa tanah dan sedikit batu kerikil kecil. Trek yang kami lalui di ini berupa hutan dengan semak-semak disamping kiri dan kanan. Beberapa kali kami sempat mngambil posisi istirahat sejenak dengan membungkukan badan kami dan meminum air beberapa teguk. Sekitar setengah jam kami akhirnya sampai di pura selanjutnya (pura ke empat) yakni tepat pukul 18.55 WITA.

 Letak gunung Abang yang berdampingan dengan gunung Batur di sisi barat laut mengindikasikan bahwa gunung Abang merupakan bagian dari kaldera gunung Batur purba yang memiliki ketinggian Mdpl. Hal ini lah yang membuat Trek yang kita lalui dalam pendakian gunung Abang ini bisa dibilang cukup unik. Bila digambarkan lebih jauh, jalur pendakian ini dimulai dari arah barat gunung Abang yakni kaki gunung Abang yang terus menuju puncak ke arah timur. Jalan setapak yang dilalui merupakan tepian punggungan gunung Abang yang berbatasan langsung dengan danau Batur di arah barat daya, sehingga disisi barat daya pendaki akan terlihat tebing yang sangat curam yang mengarah langsung ke danau batur dan juga gunung batur yang mempesona. Tentu saja, para pendaki akan merasakan nuansa ekstrim namun masih bisa menikmati panorama yang indah ini. Di sisi lain, diarah tenggara trek terlihat hutan yang cukup lebat dan luas. Kedua panorama yang memiliki daya tarik tersendiri ini lah yang membuat jalur pendakian ini menjadi menarik. Itu pun yang kami raskan saat itu. Di pura ke empat ini kami beristirahat sejenak serta memakan sedikit roti untuk mengganjal perut sambil menikmati pemandangan yang indah ke arah barat daya. Tidak lupa kami juga melakukan persembahyangan di pura ini. Setelah istirahat dirasa cukup kami kembali melanjutkan perjalanan.
Perjalanan kali ini kami mulai merasakan sedikit kesulitan. Kami sudah merasa kelelahan dikarnakan perjalanan jauh sebelumnya yakni saat kami mengendarai sepeda motor. Kami juga belum mengisi tenaga kami dengan makanan utama. Kami berencana baru akan makan di puncak gunung Abang, karena kami rasa perjalanan tidak terlalu jauh lagi. Oleh karena itu, kami sedikit memaksakan diri kami untuk terus melakukan perjalanan. Seringkali kami melakukan istirahat sejenak di tengah jalan untuk minum dan memakan sedikit snack. Saat itu salah satu anggota tim yakni Mas Fauzi terlihat sudah sangat letih, terlihat dari wajahnya yang sedikit pucat. Kami terus menyemangatinya dan ia pun sedikit demi sedikit dapat meneruskan perjalanan. Selain itu, selama perjalanan kami merasa khawatir akan turun hujan karena sebelumnya langit terlihat agak mendung. Tapi kami sudah menyiapkan jas hujan di kantung carrier yang terluar untuk berjaga-jaga, selain itu barang-barang kami didalam cerrier sudah dilapisi dengan trash bag, jadi kami sudah aman. Kemudian, Kesulitan lain yang kami hadapi di perjalanan kali ini ialah medan yang sedikit lebih sulit. Kali ini medan berupa trek yang terus menanjak dengan sedikit sekali jalan landai. Terkadang treknya tidak memiliki pijakan yang nyaman, sehingga kita harus mencari pegangan ke semak atau pohon. Kerja sama sangat dibutuhkan dalam perjalanan kali ini.
Trek yang kami lalui saat ini lebih mengarah sedikit kekanan menjauhi tepian lereng namun masih terlihat jelas tepian tebing curam itu. Ditengah perjalanan kami menemukan hal unik lainnya di gunung Abang ini. Di tengah trek yang menanjak kami menemukan akar panjang yang terbentang di sepanjang jalan, dimana salah satu ujungnya terikat kuat di batng pohon. Jadi kami bisa menggunakan akar ini sebagai alat bantu naik. Akar-akar ini cukup kuat Untuk dijadikan pegangan, namun harus digunakan bergantian satu per satu untuk menjaga kalu  akar tersebut tidak terlalu kuat. Sepertinya akar-akar ini sengaja dibuatkan oleh para pendaki sebelumnya untuk mempermudah melewati medan yang sulit ini. Kami merasa terbantu oleh adanya akar-akar ini.
Akhirnya setelah satu jam lebih kami pun sampai di pura selanjutnya (pura kelima) tepat pada pukul 20.05 WITA. Seperti biasa kami melakukan persembahyangan dan beristirahat sejenak. Kami sempat berpikir untuk bermalam disini mengingat kondisi fisik yang sudah lemah. Namun akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak dengan pertimbangan bahwa puncak sudah tidak jauh lagi. Selain itu, bila kita bermalam disini besok kita harus melanjutkan perjalanan dan harus menyediakan tenaga untuk perjalanan turun yang lebih berat lagi. Dengan tidak berlama-lama lagi kami pun melanjutkan perjalanan. Tidak jauh dari pura kelima kami melihat pohon besar yang sudah lama tumbang menghalangi jalan kami. Dari sana kami pun lebih berhati-hati kalau-kalau ada pohon yang tumbang lagi, karena itu sangat berbahaya. Semakin lama kami berjalan semakin kami merasa kelelahan. Sampai-sampai kami hampir merasa putus asa dan berpikir untuk menghentikan perjalanan dan mendirikan tenda di tengah jalan. Tapi Suartama sebagai leader yang pernah mendaki gunung Abang sebelumnya memberikan semangat kepada kita, dia berkali-kali menyampaikan bahwa puncak tinggal bebearapa belokan lagi dan tinggal beberapa menit saja sampai. Beberapa cara pun kami lakukan untuk memotivasi diri kami untuk melanjutkan perjalanan. Kami sering melontarkan candaan atau banyolan tentang berbagai hal. Terkadang kami mentertawakan nasib malang kami yang tidak jadi mendaki gunung Agung dan malah mendaki gunung Abang. Bisa dibilang selama pendakian ini kita tak henti-hentinya tertawa bersama. Setiap orang ari kami sering kali melontarkan banyolah khasnya masing-masing. Bisa saja tertawa terlalu sering juga menjadi salah satu penyebab kami kelelahan.
Trek menanjak dengan akar-akar pohon yang menonjol keluar menjadi pijakan kami dalam berjalan terus kami lalui. Jalan yang berkelok-kelok ke kanan lalu ke kiri menambah kerisauan kami menanti puncak gunung Abang. Pepohonan yang lebat dan tinggi menghalangi pandangan kami sehingga kami tidak bisa melihat puncaknya membuat kami tidak tahu kapan kami akan sampai di puncaknya. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah tanjakan yang di ujungnya berbelok ke kanan. Suartama yang lebih dulu berjalan jauh di depan tiba-tiba berteriak pada saat ia sampai di belokan tersebut. Ia berteriak girang dan mengatakan pada kami bahwa kita sudah sampai di puncak gunung Abang. Mengetahui hal tersebut kami yang sedang duduk kelelahan sontak langsung berlari melewati tanjakan tersebut seolah tidak menghiraukan rasa lelah yang kami derita. Di belokan tersebut kami melihat kearah kanan dan ternyata benar kami melihat gapura sebagai gerbang terakhir menuju puncak gunung Abang. Kami semua akhirnya sampai di puncak gunung Abang, dimana terdapat satu pura lagi (pura ke enam) dibalik gapura yang kami lewati. Pada saat itu waktu menunjukan tepat pukul 21.39 WITA. Hal pertama yang kami lakukan saat sampai di sana adalah merebahkan badan kami dengan carier yang masih terpasang di pundak kamiyang sudah basah oleh keringat. Sekitar 5 menit kami berbaring, rasanya sangat bahagia sekali akhirnya bisa sampai di puncak gunung Abang.
Setelah melepas rasa lelah kami pun langsung melakukan kegiatan kami di puncak. Karena suhu disini sudah terasa sangat dingin agar kami bisa cepat makan dan istirahat kami pun membagi tugas kepada setiap anggota tim. Agasi dan fauzi bertugas mendirikan tenda, lingga dan suartama mencari kayu bakar dan wahab bertugas membuat api. Hal itu lah yang wajib di lakukan pertama kali saat memutuskan untuk bermalam, karena semua itu sangat penting bagi  keselamatan pendaki. Setelah tenda berdiri dan api menyala kami menyeiapkan perlengkapan masak don logistic yang kkami bawa lalu kemudian memasukan sisa barang lainnya kedalam tenda. Selanjutnya kami memasak bersama-sama sambil menikmati roti sebagai pengganjal perut yang sudah keroncongan. Masakan yang kami masak adalah nasi, telur dan kacang panjang yang ditumis dan mie goreng. Selain masakan tadi wahab membawa makanan special dari rumahnya yakni teri goreng pedas buatan ibunda tercinta yang sudah di packing rapi kedalam toples. Sambil menunggu masakan siap disajikan kami semua berkumpul dan membentuk lingkaran. Di sinilah kami kembali bercanda dan bercerita satu sama lain. Kami menyegarkan kembali otak kami setelah apa yang kami alami di perjalanan tadi. Tak lupa untuk menghangatkan tubuh kami, kami membuat kopi dan energen hangat. Tak terasa akhirnya semua masakan siap di santap. Tidak berlama-lama lagi kamu pun menyantap semua masakan yang kami buat. Malam itu kami merasa masakan yang kami buat sangat enak sekali. Kami tidak menyisakan sedikit pun masakan yang kami buat. Benar-benar terlihat sekali bahwa kami sudah sangat kelaparan. Perut kami pun akhirnya sudah terisi penuh dan kami pun kembali bertenaga. Setelah makan, kami merapikan kembali peralatan masak kami agar kami mudah menggunakannya esok hari.
Sebelum istirahat kami menghabiskan kopi hangat kami sambil menikmati indahnya pemandangan yang ada. Dari awal kami sampai di puncak kami tidak begitu memperhatikan pemandangan sekitar, mungkin karena perut kami yang kelaparan dan badan yang masih kelelahan. Sekarang setelah tenaga kami pulih dan pikiran kami sudah fresh kembali, kami baru menyadari bahwa pemandangan dari puncak gunung Abang di malam hari sangat mengagumkan. Dari sini kami bisa melihat hamparan bintang yang indah di langit.  Tidak hanya di langit kami juga melihat hamparan cahaya di yang indah dan tidak kalah indahnya dengan bintang di langit. Cahaya itu adalah lampu-lampu yang ada di pemukiman. Pemandangan ini bisa kami nikmati berkat cuaca yang cerah, tidak ada awan yang menutupi pandangan kami saat itu, kami sungguh beruntung. Sungguh moment yang sulit untuk dilupakan.
Kami menikmati pemandangan tersebut sampai kami lupa waktu. Sampai kami akhirnya sadar harus beristirahat untuk memulihkan kondisi fisik kami. Oleh karena itu kami pun beristirahat tepat pukul 00 22 WITA. Sebelum tidur kami memasang alarm agar dapat menyaksikan sun rise di pagi hari. Di dalam tenda kami tidur berhimpitan sebanyak 5 orang. Awalnya kami mendapatkan masalah. Tenda yang kami gunakan sedikit robek di bagian depan bawah. Beruntung suartama sudah berjaga-jaga dari awal, ia membawa lakban. Masalah pun teratasi dengan menambal lubang tersebut dengan lakban. Suhu udara semakin malam terasa semakin dingin namun itu tidak menjadi masalah karena kami semua sudah membawa Sleeping Bag untuk menghangatkan tubuh kami. Kemudaian di saat kami tertidur, masalah lain pun datang. Angin berhembus cukup kencang dari kedua sisi tenda kami, beruntung kami memasang tenda kami dengan kuat dan kokoh jadi kami aman. Kami tertidur sangat nyenyak sekali, tidur pun terasa nikmat sekali malam itu, kami tak peduli dengan apa yang terjadi, ini semua berkat perjalanan yang melelahkan.
Minggu, 16 November 2014
Di keesokan harinya pada pukul 05.30 WITA kami terbangun, namun karena suhu udara di luar masih sangat dingin kami belum berani keluar. Setelah beberapa menit salah seorang diantara kami Suratama memeberanikan diri untuk keluar. Sedangkan kami tetap berdiam diri di dalam tenda dan menghangatkan diri menggunakan sleeping bag. Tidak lama setelah suartama keluar ia pun bersorak girang, ia mengatakan tentang keindahan pemandangan sekitar. Kami yang ada di dalam tenda merasa penasaran dengan pemandangan di luar. Satu per satu kami menyusul keluar, di luar kami bertemu dengan seorang kakek yang berjalan melewati tenda kami dan menuruni lereng. Uniknya ia berjalan tidak beralaskan kaki, menggunakan celana pendek, memakai baju biasa, dan menenteng barang semacam sangkar burung. Sedangkan kita mengunakan pakain hangat lengkap. Itu merupakan moment yang menggelikan, bagaimana tidak kita dikalahkan oleh seorang bapak tua pencari burung. Setelah itu kami baru fokus melihat sekeliling kami, dan memang benar bahwa pemandangannya sangat indah diluar. Walaupun sun rise tidak terlihat karena tertutup kabut tapi ada pemandangan indah lain sebagai konpensasinya. Kami bisa melihat puncak gunung Rinjani yang berada jauh sekali di pulau Lombok sana dari atas sini. Kami juga bisa melihat gunung Batur yang indah dibalut awan putih dengan danau batur di bawahnya. Sesekali kabut terlihat naik dan menghalangi pandangan, namun menambah suasana jadi lebih indah. Semua pemandangan disemua sisi gunung jadi lebih jelas terlihat setelah matahari naik. Melihat semua pemandangan indah itu kami mengambil beberapa foto bersama.
Di tengah pemandangan indah yang ada kami melihat pemandangan yang menyedihkan. Kami baru menyadari bahwa semua pepohonan yang tumbuh di lereng sebelah barat daya gunung yang mengarah ke danau batur semuanya habis terbakar. Jadi yang terlihat adalah pemandangan gersang di sisi barat daya gunung dan hijau rindang disisi tenggara gunung. Bahkan ada beberapa pohon yang terbakar parah hingga mengakibatkan batangnya bolong terbakar di tengah-tengahnya. Sungguh pemandangan yang miris dan menyedihkan. Kami teringat dengan apa yang disampaikan petugas penjaga pos pendakian gunung Abang bahwa sebagian hutan di gunung Abang baru mengalami kebakaran hebat baru-baru ini. Berdasarkan penuturan petugas tersebut penyebab kebakaran hutan tersebut adalah musim panas yang berkepanjangan sebelumnya. Seharusnya hal ini tidak terjadi bila pihak yang bertanggung jawab sigap mengatasi masalah ini.  Tapi di tengah lahan yang gersang tersebut terlihat benih dan tunas baru yang tumbuh kembali. Sepertinya pepohonan yang sudah terbakar tersebut masih bisa tumbuh kembali. Semoga saja seiring berjalannya waktu tunas dan benih yang tumbuh kembali segera membuat kondisi hutan menjadi pulihseperti sedia kala. Pemerintah yang bertanggung jawab pun diharapkan dapat lebih sigap dalam mengatasi masalah serupa di kemudian hari.
Pagi itu kami benar-benar dimanjakan oleh keindahan alam di sekeliling gunung Abang. Waktu kami habiskan untuk berfoto-foto dengan kamera yang kami bawa. Selain berfoto dengan membawa bendera Merah Putih serta bendera Loka Samgraha Ada beberapa dari kami yang berfoto sambil membawa tulisan/kata-kata yang yang ditulis dalam selembar kertas untuk ditujukan kepada seseorang. Kemudian ada juga yang borfoto dengan menggunakan jaz almamater UNDIKSHA yang dibawanya dari rumah. Ini kami lakukan sebagai dokumentasi dan kenang-kenangan. Puas berfoto ria kami mulai bersiap untuk memasak makanan untuk sarapan. Kami berencana untuk memasak pagi harinya saja, karena kami berencana untuk turun disiang hari. Pagi itu kami memasak nasi, tempe goreng, dan mie rebus campur sosis dan kacang panjang. Setelah selesai masak kami langsung menyantap masakan tersebut dengan lahapnya. Kami menyisakan makanan kami untuk makan siang harinya.
Matahari sudah mulai naik dan cuaca saat itu sangat cerah, mendorong kami untuk bermalas-malasan dipuncak. Kami membuat kopi dan meminumnya bersama di tepi puncak dan menghadap langsung ke arah barat daya ke gunung Batur dan danau nya. Sambil mengobrol kami pandangi gunung Batur.  Disana kami membuat dokumentasi berupa video yang di prakarsai oleh Mas Fauzi sebagai Kameramennya. Setelah itu beberapa diantara kami ada yang merasa masih mengantuk sehingga memutuskan untuk tidur lagi dengan menggelar carry matt. Pada intinya kami sangat menikmati waktu kami saat berada di puncak gunung Abang kala itu. Kami merasa seolah-olah sedang berada di gunung privat, tidak ada seorang pun selain kami yang berada disana. Jadi di ketinggian gunung Abang yang mencapai 2169 Mdpl hanya kami yang ada disana. Di sana kami merasakan kesunyian, jauh dari keramaian kota. Di tengah kesunyian ini kami merasa lebih dekat dan akrab dengan teman-teman kami yang lain. Hal ini juga menjadi salah satu keistimewaan pendakian kali ini.
Setelah lama kami bermalas-malasan berada di puncak, kami memutuskan untuk kembali turun dan melanjutkan perjalanan pulang. Sebelumnya kami mmemakan makanan yang kami masak tadi pagi agar kami mempunyai tenaga yang cukup untuk perjalanan gunung. Setelah makan, kami membongkar tenda dan mempacking kembali semua barang-barang kami. Tak lupa kami juga mengecek kembali api yang sudah kami buat sebelumnya, kami memastikan api sudah padam sepenuhnya dengan menyiraminya dengan air. Sebagai insan pecinta alam kami juga wajib mengecek kembali keadaan sekitar tempat kami mendirikan tenda, agar bersih dari sampah yang kami buat. Kami memungut sampah kami dan memasukannya ke dalam trash bag yang sudah kami sediakan. Sesuai dengan rencana semula, dalam perjalanan turun ini kami akan melakukan pembersihan sampah yang ada di sepanjang jalan yang kita lalui. Oleh karena itu, kami akan membawa trash bag sembari menuruni gunung. Setelah pembersihan selesai dilakukan, kami segera menyiapkan jaz hujan dengan menaruhnya di cerries palin atas, agar mudah di keluarkan. Hal ini kami lakukan meningat cuaca terlihat sedikit mendung, Kami khawatir akan turun hujan. Akhirnya pada pukul 13.00 dengan berat hati kami pun memulai perjalanan turun gunung setelah berdoa bersama sebelumnya.
          Perjalanan pulang kami rasa tidak seberat perjalanan mendaki kemarin. Namun demikian, kami tetap berhati-hati karena kali ini trek yang kami lalui berupa turunan yang cukup berbahaya. Di perjalanan pulang ini kami dapat lebih jelas melihat trek yang kami lalui, begitu juga pemandangannya. Hutan yang lebat dengan pohon-pohon besar di sisi tenggara gunung terlihat sangat menyejukan hati. Tebing curam di sisi barat daya gunung pun terlihat mengagumkan di siang hari mengundang kami untuk kembali mengambil beberapa foto. Namun, kembali kami melihat yang mengiris hati kami. Di sepanjang jalan yang kami lalui, sering kali kami melihat goresan-goresan berupa nama yang terukir di kulit batang pohon yang masih hidup hasil dari perbuatan tangan-tnagan jail. Miris sekali kami melihatnya, kami tidak habis piker betapa tidak bertanggung jawabnya mereka yang telah melukai pohon-pohon itu. Mereka adalah orang-orang bodoh yang hanya memikirkan diri sendiri, menuliskan nama mereka dan berharap ada yang melihat lalu membacanya. Tidak hanya itu, kami juga melihat banyak sekali sampah-sampah pelastik yang berserakan di sepanjang trek yang kami lewati. Ini adalah ulah dari para pendaki gunung yang tidak bertanggung jawab, membuang sampah sembarangan. Sampah plastic yang kami temukan bahkan ada yang terlihat sudah lama sekali terkubur. Sambil lewat kami memunguti sampah-sampah plastic yang kami temukan tersebut.
              Dua penomena ini sungguh merupakan pemandangan yang tidak enak dilihat. Kami merasa sedih melihat hal ini bisa terjadi di gunung yang justru merupakan salah satu gunung yang disucikan di Bali. Kami merasa tidak rela gunung-gunung yang ada di bali khususnya gunung Abang terus di rusak dengan hal-hal semacam ini. Hal ini harus menjadi perhatian kita bersama, bagaimana kita bersama-sama bisa menjaga kesucian dan kebersihan gunung-gunung yang ada di bali. Khususnya untuk para pendaki agar lebih sadar akan kelestarian dan keindahan gunung yang didaki.
           

Sambil terus melanjutkan perjalanan kami juga tetap memunguti sampah yang kami temui. Kami bergantian membawa trash bag yang sudah berisi banyak sampah. Dalam perjalanan ini kami tidak terlalu banyak beristirahat, sehingga tidak membutuhkan waktu yag lama kami akhirnya sampai di pura yang ke lima stelah kami menemui pohon tumbang yang menghalangi jalan. Di sana kami hanya beristirahat sebentar hanya untuk minum seteguk air minum. Di tempat ini lah yang memiliki sampah paling banyak dan kebanyakan sampah yang kami temui berupa bungkusan makanan. setelah selesai beristirahat kami kembali melanjutkan perjalanan. Seperti biasa entah kenapa di sepanjang perjalanan kami tidak henti-hentinya tertawa. Salah satu hal yang membuat kami tertawa terbahak-bahak kali ini ialah, di sepanjang jalan secara kebetulan kami bergantian buang angin selama perjalanan. Yang paling pertama buang angin adalah suartama yang berjalan paling depan. Gas yang dikeluarkan memiliki aroma yang sangat tidak sedap, sehingga orang yang berjalan mengikuti di belakangnya merasa terganggu dengan aroma tersebut. Hal itu terus menerus terulang hingga kami meras muak dan menyalip suartama yang berada di depan. Tidak lama kemudian hal yang sama dilakukan oleh agasi dan aroma yang keluar tidak kalah menyengatnya, dengan santainya dia mengatakan bahwa sebenarnya dia sedang ingin buang air besar. Setiap ada yang buang angin kami selawa tertawa terbahak-bahak. Hal it terus terulang secara bergantian sampai akhirnya ami tiba di pura selanjutnya (pura ke empat). Hal itu sungguh merupakan moment yang tidak akan terlupakan.
            Di pura yang berada tepat di tepian tebing ini kami beristirahat cukup lama. Di sini kami memakan sedikit roti yang tersisa untuk mengganjal perut sambil menikmati pemandangan tebing yang curam. Di sini juga kami temui sampah plastik yang julahnya tak kalah banyak dengan pura sebelumnya. Di pura ini kami juga melakukan persembahyangan dan memunguti sampah yang ada. Kemudian, mengetahui perjalanan tinggal sedikit lagi, tidak berlama-lama kami pun melanjutkan kembali perjalanan kami. dalam perjalanan kali ini kami baru merasakan kelelahan. Namun demikian, kami tetap bersemangat untuk menyelesaikan perjalanan. Turunan demi turunan terus kami lalui, sampah-sampah yang kami temui juga tak lupa kami ambil. Hingga akhirnya kami pun sampai di pemberhentian terakhir di tempat kami memarkir motor kami. kami merasa lega akhirnya kami sampai di bawah kembali dengan selamat. Selama perjalanan beruntung sekali kami tidak menemui hujan, hanya semat gerimis sedikit, itu pun hanya sebentar. Kami merasa perjalanan turun terasa lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan mendaki. 
           Kami pun memanaskan motor kami dan segera berangkat menuju pos pendakian untuk melapor dengan petugas yang berjaga. Setelah sampai di pos pendakian kami menemui petugas yang kemarin berjaga. Kami menyerahkan sampah yang kami dapat kepada mereka. Helm yang kami titipkan sebelumnya kami ambil kembali. Sebelum kami pulang kami mengucapkan terima kasih kepada petugas atas izin dan bantuannya kepada kami. kemudian kami pun berpamitan dan bergegas berangkat pulang. perut yang lapar mendorong kami untuk mampir kembali di tempat kemarin kami memakan bakso yakni di panelokan. Kami menikmati hangatnya bakso sambil disuguhi pemandangan gunung Batur yang elok. Setelh puas dengan bakso yang kami makan, kami kembali mengendarai motor kami untuk melanjutkan perjalanan pulang ke secretariat Mapala Loka Samgraha. Ada sedikit kendala yang kami hadapi selama di perjalanan pulang, beberapa dari kami merasakan rasa kantuk yang hebat. Sampai-sampai agasi dan wahab hampir terjatuh karena ngantuk. Oleh karena itu kami harus lebih hati-hati lagi. Di tengah perjalanan di sekitaran daerah Kintamani kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin kendaraan kami di sebuah kios bensin. Kami khawatir bensin kami tidak akan cukup dan kami tidak akan menemukan penjual bensin lagi di depan. Setelah itu kami pun terus melanjutkan perjalanan. Kami mengendarai motor kami tidak terlalu kencang karena kami sadar kondisi fisik kami sudah kelelahan dan mata kami sudah mengantuk. Kami tidak mau mengambil resiko untuk memacu kencang motor kami. Banyak sekali kasus pendaki gunung yang mengalami kecelakaan saat mengendarai kendaraan setelah turun gunung.
             Kami pun baru sampai di sekretariat Mapala loka Samgraha pada pukul 18.15 WITA. Bersyukur kami akhirnya selamat dan kembali lagi di secretariat tercinta. Sungguh perjalanan yang sangat berkesan dan tidak akan terlupakan. Walaupun kami tidak jadi mendaki ke gunung Agung, namun akhirnya kami dapat mendaki gunung Abang sebagai gantinya. Gunung yang tidak kalah keren, dan indahnya dengan gunung lainnya di Bali. Perjalanan ini tentunya akan memberikan pengalaman yang berharga bagi kami dalm hal mengelola perjalanan dalam hal ini endakian gunung Abang. Dan tentunya dengan tulisan ini kami pun berharap pembaca dapat mendapatkan pelajaran yang serupa.
Read More
    email this       edit

Oct 18, 2016

Published 7:45 AM by with 0 comment

KKN



Bangun pagi-pagi setiap hari
Masak bersama kawan serunya

Mandi pun harus mengantri
Cepatlah kawan sebelum ramai

Oh senangnya hati berseri-seri
Berkeliling desa melihat-lihat

Dari rumah, warung dan sekolah
Sawah ladang semua terjamah

Pedagang dan petani ajari kami
Pelajaran hidup  nan berarti

Kerja-kerja itu lah kami
Kerja-kerja jangan berhenti
Ingat juga untuk bernyanyi
Agar hati tetap berseri-seri

KKN Undiksha semakin berjaya
Desa-desa pun semakin sejahtera

Posko KKN, 3 Agustus 2016
Read More
    email this       edit

Oct 3, 2016

Published 10:37 AM by with 0 comment

Abadinya Sunyi

Di sunyinya lerengmu yang terjal
Di sela-sela kerasnya batuan cadas
Saat lelah hinggap  memicu aralku
Saat hawa sejuk menimpa panas

Ayunan kakiku menghapus pilu
Membawa jiwaku ke kawah suci
Menembus kabut menyapu haru
Menggulung luka di lubuk hati

Disini ditengah megahnya cakrawala
Ragaku melayang terbawa Imaji
Disini di persemayaman para Dewa
Mencoba menyingkap jutaan misteri

Hanyalah kami berjalan berhuyun
Bersahutan coba memecah sunyi
Sekejap menggema kemudian  berlalu
Tenggelam ia luput ditelan sunyi

Sunyi... Sepi...
Hanyut kan ku dalam abadinya sunyi.

Agung, 22 September 2016
Read More
    email this       edit

Sep 15, 2016

Published 11:43 AM by with 0 comment

Di Desa

Di desa mereka pergi bekerja
Di desa mereka bisa tertawa
Menari, bernyanyi sesuka hati

Bersama mereka ku belajar
Indah terasa seni dan budaya
Bersamanya nikmat terasa cinta kasih sesama manusia

Terima kasih Buwit, desaku
Terima kasih Buwit, temanku.

Buwit, Juli 2016
Read More
    email this       edit
Published 7:58 AM by with 0 comment

Subuh itu...

Perjalanan subuh itu menjadi perjalanan paling emosional bagiku. Tak kuat rasanya aku meninggalkan ia yang tak berdaya seorang diri. Kenapa ini harus terjadi ? Disaat senyumnya mulai terlihat kembali menghias wajah keriputnya. Senyum bahagia melihat cucunya yang lama menghilang. Bahagia karena harinya kini tak lagi sepi. Namun, kebahagiaannya hanya sesaat, kini ia kembali sendiri tak berdaya dengan penyakitnya. Maafkanku, Aku harus kembali pergi.

Sungguh perjalanan subuh itu menjadi perjalanan paling menyayat hatiku. Habis rasanya persediaan air mataku ini dalam perjalanan singkat cengkong-jakarta ini. Kesedihan nampak jelas di wajahnya tak dapat ia sembunyikan dariku. Tak banyak kata perpisahan yg terucap. Ia hanya berpesan "hati-hati di jalan nya Jang". Baginya kata perpisahan hanya akan menambah lukanya. Selintas ia mencoba untuk tersenyum, namun yang terlihat hanya senyum pilu. Maafkan aku. Aku harus kembali pergi.

Perjalanan subuh itu telah membuatku menjadi mahkluk paling melankolis saat itu. Sedetik ingatan tentangnya, sejurus tangisan menyertai.
Paman dengan sangat perlahan mengendarai motor, merayap dengan pasti mengantarku meninggalkan desa. Seakan tahu bahwa sebagian hatiku masih tertinggal di desa ini. sepertinya ia tahu aku masih ingin berlama-lama disini.

Ya Tuhan 1 doaku, kumohon kuatkanlah hambaMu ini.

Kuatkan jiwa dan raganya dalam melawan penyakitnya.
Serta kuatkan lah kami agar ikhlas menerima keadaan.

Kereta Karanwang-Jakarta, 8 September 2016
Read More
    email this       edit
Published 7:46 AM by with 0 comment

Pantai yang tak lagi santai


Kembali aku disini, dipantai ini. Tidak ada niatan lain kecuali ingin bersantai sejenak. Irama deburan dan buih ombak yang menghantam karang, lalu merayap pelan di pasir sungguh menjadi semacam terapi yang mengobati lelah. Hembusan angin sepoi-sepoi dan suara burung camar membuatku semakin betah berlama-lama disini. "Santai kayak di pantai" pikirku.
"Oh anak pantai... hidup santai.." itulah sepenggal lagu dari imanez yang menggambarkan kehidupan di pinggir pantai. Lagu yg pas aku kira untuk kehidupanku yang tinggal tak jauh dari pantai.
Tak lama kemudian aku dengar seorang pria bertubuh besar dengan seragam kebanggaannya lewat di belakangku dan berseru "santai dulu lah" sambil tersenyum. Ramah sekali orang ini pikirku. Segera aku tersadar ia adalah satpam vila tempat dimana aku bersantai sore ini.
Ya, kini di desaku khususnya di pantai penyabangan, vila dan hotel sudah seperti panu yang menempel di pantat. Terasa enak bila di garuk dan tanpa disadari semakin banyak dan sulit diobati. Untungnya aku tidak punya panu.
Teringat 10 tahun yang lalu, di pantai ini orang-orang ramai berdatangan membawa keluarganya. Terlihat ibu-ibu (termasuk ibuku) berbaris rapih menyapu kerang, remis dan penyon (makanan laut khas pesisir pantai). Lain halnya bapak-bapak yang membentuk barisan, barisan pemancing bersiap dengan alat pancing dan umpannya. Sedangkan kami anak-anak tidak mau kalah, kami mandi dan bermain pasir sesuka hati kami, sampai jari-jari kami keriput dibuatnya.

yatanya sekarang tidak lagi demikian. Lagu imanes rasanya sudah kadaluarsa untuk pantai kami. Semua sudah berkembang pesat. Orang yang hanya bersantai-santai akan jauh tertinggal. Sering kudengar keluhan dari temanku yang di usir saat memancing oleh satpam, dengan dalih demi keamanan tamu. Para pemburu kerang, remis, dan penyon pun tak tau kemana. Yang tersisa hanya anak anak yang masih setia mandi di pantai walaupun sienya tak sejernih dulu. Secara mereka mandi dekat dengan pembuangan hotel dan vila.

10 September 2016

Read More
    email this       edit
Published 6:58 AM by with 0 comment

Senandung Rindu


Sampai kapan harus menunggu ?
Sampai karang habis diterjang ombak..
Sampai cahayanya lenyap ditelan malam...

Dimana aku harus mencari engkau rinduku ?
Diujung laut itu.. tak sampai mataku mencarinya
Dipuncak gunung itu.. tak kuat kaki ini melangkah

Sayang, kemana kah kau berlalu?
Mentari yang pulang, mungkin kah kau tahu kemana rimbanya
Burung-burung camar bawalah rinduku terbang bersamamu

Taukah kau ? Rinduku dalam sedalam palung di samudra
Taukah kau ? Jiwaku setia memanggil namamu
Taukah kau sayang ? Sepi rasanya senja kini tanpamu

Pantai misteri, 18 Juli 2016
Read More
    email this       edit

Jul 19, 2016

Published 11:54 AM by with 0 comment

Gunung Batur : Sebuah Awal Petualangan Kecilku

Seperti halnya sebuah pondasi yang akan menentukan kokoh tidaknya sebuah bangunan, langkah awal adalah hal yang menentukan keberhasilan sebuah rencana. Setiap orang pasti akan berbuat yang terbaik untuk mengawali setiap langkahnya hingga mencapai kesuksesan. Apalagi, hal tersebut berkaitan dengan target besar yang menentukan masa depan seseorang. Demikian halnya denganku, aku akan memberikan usaha terbaiku dalam setiap awal perjalanan hidupku. Seperti yang aku alami saat pendakian gunung pertamaku di Gunung Batur pada awal tahun 2014 lalu. Pendakian ini Menjadi sangat penting bagiku. Pendakian ini menjadi pondasi yang mendasari kokohnya petualangan ku kelak. Pendakian ini menjadi awal petualanganku menggapai puncak-punak tertinggi tanah Indonesia lainnya. Setiap pengalaman, pelajaran dan nilai moral yang aku peroleh dari langkah awalku ini akan terpatri dalam benakku. Banyak kenangan yang membekas dalam langkah awal petualangan ku ini, dari mulai susahnya melakukan persiapan, suka duka yang aku alami di perjalanan, dan manisnya kesuksesan mencapai puncak.

Satu kata yang bisa mewakili perasaanku saat mengetahui rencana pendakian ini adalah “Bergairah”. Tidak berlebihan jika diingat-ingat apa yang terjadi saat itu. Meski Batur bukanlah gunung yang memiliki tingkat kesulitan yang “wah”, tapi persiapan yang kami lakukan kala itu saat itu sangatlah “wah”. Seminggu sebelumnya kami menjadwalkan latihan fisik yang ketat. Tidak cukup hanya mempersiapkan fisik, informasi tetek bengek tentang gunung pun tidak lepas dari perhatian kami. Artikel tentang jalur pendakian gunung batur dan informasi lainnya memenuhi riwayat pencarian di laptop kami. Tidak bosan-bosannya kami juga mengintrogasi setiap orang yang pernah mendaki gunung purba ini (sebaliknya, mereka mungkin sudah sangat bosan menanggapi setiap pertanyaan kami kala itu). Terkesan sepele memang, tapi bagi kami yang masih amatir informasi itu sangat berharga saat itu.

Dari awal kami sudah dicekoki dengan doktrin bahwa pendakian ini merupakan sebuah pembelajaran dalam me-manage sebuah perjalanan. Rumitnya administrasi tentang, perijinan dan pemberitahuan pun dengan berat hati kami harus jalani. Kalian yang sudah khatam dengan pendakian ke gunung batur mungkin akan mentertawai persiapan kami saat itu. Namun, seperti yang aku sampaikan di awal, perjalanan ini adalah lembaran awal yang akan menjadi pengantar ke perjalanan lainnya. Walau sempat rasa pesimis menggoyahkan semangat kami yang menggebu-gebu di awal, pada akhirnya semua berhasil kami lewati dengan baik. Kami pun sampai pada hari dimana kaki ini benar-benar menjejakkan langkah pertamanya di Gunung Batur.


Penampilan kami jika dinilai oleh ahli fashion gunung, mungkin hanya mendapat point enam. Ada yan berpenampilan layaknya petugas dinas kehutanan yang sedang berpatroli, dan bahkan ada pula yang dengan bangganya memakai seragam ala ibu pejabat pemkab yang sedang mengahdiri acara jalan santai. Kemudian, yang lainya dengan percaya diri dengan kostum ‘anak punk’nya, dan sisanya mengenakan pakaian khas anak alay (maklum kebanyakan dari kami baru lulus SMA). Tapi tenang saja, dengan persiapan yang matang dan dengan barang bawaan yang tersusun rapi di dalam tas, kami siap mengawali petualangan kami ini.

Ini merupakan perjalanan awal kami sebagai tim. Kami merasa kesulitan untuk menjalin kekompakan sebagai tim yang solid. Memang penyesuaian membutuhkan proses yang memakan waktu lama. Untuk awal susah sekali mencairkan suasana di perjalanan. Sesekali candaan yang dilontarkan tidak ubahnya seperti kerupuk terasa renyah didengar. Sepanjang perjalanan, tidak jarang kami lalui hanya dengan diam tanpa bersuara. Jaga image, itu la yang menghambat kami dalam mengakrabkan suasana. Untuk sekedar kentut pun kami masih pikir-pikir. Pantang rasanya untuk kentut dengan merdeka di depan teman yang lain. Kalau menurutku sih salah satu tolak ukur keakraban suatu pertemanan mereka bisa dengan bahagia, tertawa bersama untuk hal kecil contohnya kentut. Hal sederhana seperti itu saja sulit kami lakukan. Padahal kekompakan adalah modal utama untuk melalui perjalanan di alam bebas.

Ego adalah musuh utama kami saat itu. Setiap anggota tim semestinya mampu menahan egonya masing-masing. Pengalamanku pribadi adalah contoh lainnya. Dengan alasan yang kurang bisa ku terima, aku ditunjuk sebagai tim sweeper. Walaupun memang badanku yang paling tinggi, tapi aku rasa aku tidak sekuat yang mereka bayangkan. Tapi aku terima saja amanah itu dengan berat hati. Sepengetahuanku, orang yang paling kuatlah yang cocok menjadi sweeper. Tim sweeper atau juga bisa disebut dengan penyapu biasanya berada diurutan belakang menjaga tim lainya yang berjalan di depan. Sesekali ia harus rela menunggu temannya yang kelelahan. Ibarat sebuah mesin, seorang sweeper harus rela berkali-kali memanaskan mesinnya. Badannya yang sudah mulai panas untuk berjalan jauh, harus kembali dingin dan perlu waktu lagi untuk memanaskannya. Hal ini lah yang membuat sweeper memerlukan tenaga ekstra. Sampai setengah perjalanan, dari mulai keringat panas sampai keringat dingin mulai bercucuran. Tenagaku pun semakin terkuras habis, begitu pula dengan kesabaranku. Betapa tidak, sampai dongkol berkali-kali aku harus menunggu teman-teman didepanku yang kecapaian. Dua kali lipat tenagaku habis untuk menunggu mereka. Ditambah lagi aku harus berpura-pura menjadi pahlawan mereka yang terus memberikan kata-kata penyemangat. Batur yang bagi para pendaki ulung bisa 4 kali bulak-balik dalam sehari, bagiku bisa sampai puncak dengan selamat saja sudah untung saat itu. Keringatku tidak hanya puas dengan membasahi bajuku tapi ia sampai menembus sampai lapisan jaket terluarku. Dari sana aku mendapatkan pelajaran gunung pertamaku bahwa ‘Sebisa mungkin kamu terlihat lemah dimata temanmu sesaat sebelum melakukan pendakian’.

Selain beban menjadi seorang sweeper, ada hal lain yang sedikit mengganjal pikiranku dan teman lainnya selama perjalanan menuju puncak. Ada yang kurang rasanya dalam dalam perjalanan kali ini. Jelas sekali karena anggota tim berkurang dua orang. Mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai di puncak, karena mereka menstruasi. Adat disana tidak memperkenankan pendaki yang sedang menstruasi untuk mendaki sampai ke puncak. Terlihat dari raut wajahnya, mereka kecewa karena tidak bisa menyertai kami sampai ke puncak. Kala itu sempat berpikiran untuk tetap memaksakan mereka untuk ikut. Namun dengan alasan yang aku belum bisa terima saat itu, Rekan-rekan senior yang mendampingi tidak sepaham dengan ku dan tetap tidak memperbolehkan mereka ikut serta. Akhirnya, dengan berat hati kami lanjuut kan perjalanan tanpa mereka. Belakangan aku baru sadar, bahwasannya ada maksud lain dari aturan adat tersebut. selain menjaga kesucian gunung batur yang dianggap suci oleh warga, aturan ini juga bermaksud untuk menjaga keselamatan pendaki. Secara ilmiah dapat di engerti bahwa seseorang yang sedang mengalami menstruasi secara otomatis daya tahan tubuhnya aka berkurang drastis. Untuk sekelas pendaki amatir seperti kami, sangat besar resikonya bila terus memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan dengan kondisi seperti itu. perlu jam terbang yang tinggiuntuk mengatasi resiko yang mungkin akan dihadapi. Dari situ kami belajar lagi satu hal, bahwa dalam mendaki gunung meraih uncak bukanlah hal utama dan segalanya. Lebih jauh lagi, yang harusmenjadi prioritas utama dalam mendaki gunung adalah pulang dengan selamat. Tentu merupakan kekonyolan yang nyata memaksakan untuk bisa meraih puncak, namun tidak bisa pulang dengan selamat.

Akhirnya Kita sampai di puncak dan pulang dengan selamat. Gunung pertamaku pun akhirnya dapat kuraih sebagai awal dari petualanganku yang lainnya. Meski, awalnya sempat dihadapkan pada situasi yang sulit dari mulai persiapan sampai pelaksanaannya, pada akhirnya semua dapat terlewati. Bersyukur bisa turun kemballi dan bertemu dengan teman-temanku yang menunggu di bawah. Setelah melihat mereka, perasaan hampa pun berubah. Disanalah kami merasa lengkap kembali. Setelah pendakian itu kami merasakan, hubungan kami menjadi lebih akrab lagi. Mulai saat itu, pondasi awalku untuk melanjutkan petualang selanjutnya telah dibangun kokoh berkat pengalaman berharga yang aku alami selama pendakian tersebut.
Read More
    email this       edit