Jul 4, 2016

Published 1:49 AM by with 0 comment

Hidup adalah pilihan

Malam ini adalah minggu terakhir bulan ramadhan tahun 2016. Banyak yang bilang malam ini adalah malam yang suci bagi umat muslim, membuatku bersemangat untuk menulis kembali. Suasana malam ini terasa cukup tenang dan sepi, mengingat sebagian besar sanak saudaraku pergi mudik ke kampung halaman. Hanya tersisa keluargaku yang tinggal dan tidak ikut melestarikan tradisi mudik ini. Kami memilih untuk tidak mudik karena keterbatasan biaya yang kami miliki. Teringat dengan petuah dosenku bahwa hidup itu pilihan, dan keputusan ini merupakan pilihan tunggal yang kami harus ambil, ya karena memang tidak ada pilihan lain lagi.

Walaupun demikian rutinitas keluargaku tetap berjalan seperti biasanya. Sebagimana tradisi yang kami biasa lakukan menjelang lebaran, ibu dan adikku kini tengah sibuk dengan adonan dan loyangnya. Mereka membuat aneka macam kue kering khas lebaran seperti nastar, caling gajah, dan kue salju. Alhasil, seisi ruangan pun tercium aroma manis khas yang mengundang air liurku. Bapakku yang kecapean setelah bekerja seharian sudah tertidur pulas sesaat setelah shalat trawih tadi. Rasa capeknya menyelamatkan kue-kue yang baru saja matang, Karena biasanya ia tidak pernah absen mencicipi setiap masakan ibuku. Tidak ada masakan ibuku yang tidak ia anggap enak, atau lebih tepatnya tidak ada makanan yang ia anggap tidak enak. Ya, itu lah bapakku selalu menghargai makan dengan caranya. Berbeda dengan ku, kue kering tadi tidak bisa lolos begitu saja tanpa aku cicipi. Bukan mencicipi, lebih tepatnya menghabisi. Tidak heran perbuatanku ini membuat Adiku yang sudah capek membuatnya menggerutu. Maklum lah, moment pulang ke rumah adalah moment bagiku untuk memperbaiki gizi. Seminggu lebih hidup di kota sendiri dengan keterbatasan biaya hidup membuat asupan gizi dalam tubuhku menurun drastis. Apalagi bulan puasa sekarang bertepatan dengan masa-masa uas. Makan tidak teratur, tidur tidak teratur, tetapi tugas dan kewajibanku sebagai mahasiswa semakin menumpuk. Mungkin hal ini sudah menjadi hal klasik bagi kebanyakan mahasiswa lainnya. Maka di rumah lah tempat karantinaku yang bisa memulihkan kondisi fisik dan mentalku. Ibuku dengan indra keenamnya bisa merasakan apa yang aku rasakan, setiap datang jadwalku untuk pulang, dengan susah payah ia selalu memasakanku makanan yang enak. Termasuk hari ini, tidak seperti adikku yang menggerutu, ia selalu senang meilhatku mencicipi (menghabisi) setiap makanan yang ia masak. Memang sih, kue ini untuk dimakan lebaran nanti, tapi badanku sudah kurus kering dan perlu diberikan asupan gizi yan baik segera, pikirku.

Ditengah asyiknya aktivitas membuat dan mencicipi kue ini aku berusaha mengakrabkan diri dengan adikku lagi. Keterbatasan waktu ku dan seringnya konflik yang terjadi diantara kita semakin membuat hubunganku dengannya kian menjauh. Yang paling sering adalah konflik sengketa motor diantara kita. Konflik ini selalu menghiasi hari-hari kami dirumah. Adikku yang sudah besar dan mulai memasuki masa puber tidak bisa lepas dengan motor, walaupun sebenarnya belum dianggap perlu ia menggunakan motor. Namun, belakangan ini ia mulai disadarkan oleh kecelakaan yang ia alami tempo hari. Ia mulai mengurangi keinginan untuk menggunakan motor. Dari kehjadian itu aku mulai bersimpati dengan keadaan adiku ini. Di masa pubernya, ia kekurangan kasih sayang bimbingan dari orang tua. Orangtuaku keduanya bekerja dan sedikit sekali bisa meluangkan waktu dengan adikku. Tidak heran sih, kalau hari-harinya selalu dihabiskan dengan bermain HP dan motor. Ia mencari tempat diamana ia bisa mencurahkan kegundahannya dalam memasuki dunia remaja. Aku pun tersadar bahwa ini juga adalah tanggung jawabku sebagai kakak untuk membimbingnya dan bukan hanya memarahinya ketiaka ia melakukan kesalahan. Malam ini aku pun mulai kembali melakukan pendekatan lebih dalam lagi dengan adikku. Sepanjang malam kami bercakap-cakap seputar aktivitasnya terkhusus terkait pendidikannya yang akan memasuki dunia SMA. Saat ini ia sedang bingung dalam memilih jurusan apa yang ia akan ambil nanti setelah masuk di SMA. Sebenarnya ia cukup pintar dalam pelajaran di SMP. Ini terbukti dengan perstasinya yang beberapa kali meraih Juara di kelas. Namun kepintarannya tidak bisa meolongnya untuk sekedar memilih jurusan di SMA. Untuk hal sekecil ini saja ia tidak bisa memilih dengan penuh keyakinan, terlebih lagi saat kutanya cita-citanya ingin menjadi apa, wajahnya yang masih lugu semakin kebingungan. Hal semacam itu benar-benar berada diluar pikirannya. Miris sekali, padahal ini adalah hal mendasar bagi seorang anak untuk menentukan pilihan hidupnya sedari awal. Penomena semacam ini, aku yakin juga terjadi pada jutaan seusianya. Cita-cita dan pilihan hidup yang harusnya sudah tertanam sedari awal dan diarahkan oleh para orang tua nyatanya menjadi hal yang asing bagi anak-anak. Bila dianalogikan, nasib adikku dan anak senasib lainnya bagaikan penumpang bus yang tidak tau bisnya menuju kemana. Ia hanya bisa menikmati suasana bus yang ber-AC, dan fasilitaspendukung lainnya, tidak tahu kapan dan dimana bus akan berhenti. Bisa saja bus berhenti di tempat yang terpencil, mengerikan dengan penduduk yang tidak ia kenal, atau bahkan bus akan berakhir di jurang.

Mirisnya lagi, kegundahan yang dirasakan adikku, kembali aku rasakan. Walaupun aku sudah memahami konsep bagaimana menentukan pilihan hidup yang baik bagiku, namun nyatanya, aku masih belum bisa menilai diriku lebih dalam. Aku masih kesulitan untuk melihat bakat apa yang paling menonjol dalam diriku, serta aku pun kebingungan untuk menyeleksi sekian banyak minatku. Bagaimana mungkin, seorang calon sarjana pendidikan, masih kebingungan menentukan nasib hidupnya kedepan ingin menjadi apa. Di semester akhir ini, berbagai macam pilihan hadir melambai-lambia, merayu dan menunggu untuk dipilih. Bekerja/lanjut kuliah menjadi pilihanyang sangat sulit. Kalaupun harus bekerja, dimana aku bisa bekerja itupun masih diangan-angan. Beasiswa untuk kuliah pun tidak bisa menjadi pilihan yang utama bagiku saat ini. Tanggung jawabku sebagai anak pertama dari keluarga sederhana, dengan adik yang masih memerlukan biaya untuk sekolah menjadi semak belukar yang menghalangi jalanku untuk kuliah. Tidak rela rasanya hatiku untuk berkuiah kembali sementara kedua orang tuaku yang kesulitan mengais rezeki untuk membiayai hidup dan pendidikan adiiku. Memang sih orang tuaku menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Tidak banyak tuntutan yang mereka berikan kepadaku, aku saat ini kuliah aja merupakan pilihanku sendiri, mereka hanya bisa mendukung keputusanku. Orang tuaku adalah orang dengan emikiran polos dan sederhana. Tidak ada obsesi dan keinginan yang keras tentang bagaimana masa depanku kelak. cukup bagi mereka, bahwa aku hidup sehat dan dekat dengan agama. Impian yang sederhana namun sangat bermakna bagiku. Aku memaklumi karakter orang tuaku ini, mengingat keadaan mereka saat ini yang penuh dengan kesederhanaan. Sehingga aku berkesimpulan bahwa aku tidak bisa mengharapkan banyak pada orang tuaku dan semua kembali pada diriku sendiri untuk menentukan pilihan.

Malam pun semakin larut dan udara di luar terasa semakin dingin. Suara samar-samar ibu dan adikku yang sedang membuat kue lebaran tidak lagi terdengar. Sepertinya merek sudah tidur nyenyak. Sementara nyanyian malam berupa suara jangkrik dan deburan ombak dari arah pantai semakin keras terdengar. Berpikir keras tentang pilihan hidup membuat mataku semakin mengantuk. Masalah ini bukan lah hal yang mudah untuk diselesaikan tentunya. Aku pun sadar bahwa besok aku harus kembali beraktivitas. Maka kegundahanku malam ini cukup aku simpan dalam hati dan berharap segera kutemukan jawabannya. Akhirnya aku pun memilih untuk tidur.
  
taken from uldissprogis.com
    email this       edit

0 comments:

Post a Comment