Oct 27, 2017

Published 9:01 AM by with 0 comment

Kawah Ijen yang indah dan sadis

(Ada tangis di balik masker itu).
Pernahkah kalian merasakan betapa kematian hampir merenggut nyawa kalian? Bila pernah, tentulah saat itu kalian merasa takut kalau hal itu benar-benar akan terjadi. Setelah itu kalian akan bersyukur, menyadari bahwa Tuhan masih berbaik hati kepada kalian, dengan membiarkan kalian tetap hidup. Kejadian yang merupakan karma dari kelakuan kita sendiri itu akan merubah hidup kita selanjutnya. Kita tentunya akan belajar dari kesalahan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama kelak. Dari cerita tentang beberapa kawan yang aku temui malah ada yang sampai mendadak ingat orang tua, ingat dosa, dan ingat Tuhan.  Bagus sih, jadi ada hikmahnya ya, hehe. Aku pun demikian telah mengalami hal yang sama, parahnya tidak hanya sekali. Yang masih segar di ingatanku adalah saat aku merasa hampir mati keracunan asap belerang. Ironisnya tempat dimana tragedi itu menimpaku adalah salah satu tempat terindah yang aku temui. Tempat itu juga merupakan tempat yang menjadi perkenalan awalku dengan pesona gunung-gunung Indonesia di luar Bali. Tempat itu tak lain adalah Gunung Ijen, Banyuwangi. Ya, cerita ini kenangan saat kami berkunjung ke kawah Ijen tanggal 7 Juli 2016 silam.

Karma, sepertinya istilah itulah yang telah melanda kami saat itu. Semua bermula dari keberangkatan yang kurang mendapatkan restu dari keluarga kami. Kami berlima yang belum pernah mencicipi keindahan gunung ijen harus sedikit memaksakan diri berangkat meski di tengah-tengah suasana lebaran. Ya benar di Hari H lebaran kami melakukan perjalanan ini. Tidak heran kalau para orang tua kami banyak yang keberatan. Kami seolah tidak peduli dengan omelan mereka (dasar anak durhaka, hehe).   Kami berpikir bahwa kesempatan tidak akan datang 2 kali, dan kami melihat moment saat itu adalah momen yang sangat pas. Akhirnya, Berbekal niat yang kuat, kami berangkat tepat di hari H idul fitri, beberapa jam setelah shalat id. Kami bermalam di kediaman salah seorang kawan kami di Banyuwangi, sebut saja ingus. Ia lah yang akan menjadi guide kami. Di sana kami mengumpulkan tenaga kami sekaligus mengisi bahan bakar untuk badan kami dengan suguhan khas lebaran berupa jajanan yang tersaji rapi dalam toples. Saking banyaknya sampai memenuhi ruang tamu, dari mulai meja sampai lantai. Alhamdulliah, orang tua ingus menyambut kami dengan sangat baik, meski mereka sedikit tidak rela kalau anaknya harus pergi naik gunung. Maafkan jiwa muda kami bu-pak, tak hati sebenarnya harus mengganggu waktu keluarga mereka.

Singkat cerita kami pun berangkat ke pos pendakian saat kami enak-enaknya tidur. Maklum saja masih sangat pagi sekali kita berangkat sekitar pukul 1 dini hari, mengingat jarak dari rumah ingus di genteng ke pos pendakian kawah ijen lumayan jauh. Sesampai disana kami dikenai karcis masuk dua kali, di gerbang masuk kawasan dan di pos. Entah apa tujuannya yang jelas total biaya yang dikeluarkan untuk 1 orang sebesar 25 ribu. Kami mulai berjalan. Trek yang tidak terlalu terjal menjadi cukup berat bagi kami yang baru bangun dan masih kekurangan istirahat. Selama perjalanan baru kali itu aku menemukan penomena unik. Jadi di sepanjang jalur pendakian ijen banyak ditemukan lalu lalang para ojek gerobak yang siap mengantarkan para wisatawan yang tidak kuat mendaki dan memilih bermalas-malasan duduk di gerobak untuk kemudian didorong sampai ke puncak. Aneh juga ya, kalau memang tidak kuat naik gunung ya jangan naik gunung lah, pikirku. Menuh-menuhin jalan saja. Ah mungkin sudah menjadi rizkinya para bapak-bapak tukang ojek, biarkan sajalah.

Hercules nya kawah Ijen

Selain itu aku beberapa kali kami berpapasan dengan para penambang belerang dengan beban dipundak sampai puluhan kilo blerang. Wow.. sempat kucoba mengangkatnya, namun ironisnya pikulan belerang tak bergeming sedikit pun. krik.. krik..

Akhirnya sampai juga dipuncak. Satu kata yang terlintas di benak “indah”. Rekahan tanah ditepian lereng sebelah dalam kawah nampak indah seperti telah diukir oleh seniman menjadi sebuah konfigurasi yang manis dibalut warna tosca hasil dari endapan asap belerang. Terus kupandangi lereng itu semakin kebawah menuju kawah. Dan akhirnya mataku tertuju dan berhenti pada suatu objek laksana sebuah cawan besar berisikan air kehijau-hijauan. Itulah kawah ijen yang telah memaksaku meninggalkan keluarga di hari H idul fitri ini.

percayalah aslinya lebih keren
Sungguh indah kawah itu dipandangi dari kejauhan sini. Terlintaslah dalam benakku sekilas niat untuk turun dan menikmatinya dengan lebih intim. Niat itu kian didukung dengan daya tarik lain dari tempat ini, yaitu blue fire. Ahh kapan lagi aku kesini, pikirku. Tanpa berfikir lama lagi segera aku sewa masker alat bantu pernapasan, langsung aku berjalan turun. Sempat kubaca himbauan untuk tidak turun ke bawah. Tak sampai selesai kubaca himbauan itu poin demi poinnya, aku pun berjalan terus ke bawah dan tak peduli sama seperti ratusan orang lain yang sudah lebih dulu turun.
blue fire (asli bukan api kompor gas)
Disini lah bagian utama dari ceritaku ini. Karma yang kutanam sekian lama ini akhirnya sampai pada puncaknya yakni membawaku pada tepian jurang maut asap belerang kawah ijen. Percayalah kawan restu orang tua itu penting dalam setiap perjalananmu. jadikan ceritaku ini sebagai pelajaran atau kau akan mendapatkan karmanya sama seperti aku.

Kau tahu seberapa menyesakkannya asap ini? Kalau kau tahu bau asap yang dikeluarkan korek api kayu saat pertama kali dinyalakan, nah mirip seperti itulah baunya. Tinggal sekarang coba kamu nyalakan 10 batang korek sekaligus dan hisap asapnya, hisap dalam-dalam seolah tak ada udara lain lagi disekitarmu. Hmmm.. rasakan nikmatnya (jika benar dicoba berarti anda bodoh, hehe). Sesak sekali nafasku, masker yang kusewa 15 ribu tak berguna, rasanya ingin kubuang saja masker itu. Asap pekat belerang rasanya telah masuk jauh kedalam paru-paruku dan mengendap tak keluar lagi. Air mata sudah tak henti-hentinya sedari tadi mengalir. Menyesal sekali aku turun ke bawah pikirku.

Memang sih aku lihat phenomena blue fire. Namun harganya tak sebanding dengan nyawaku. Di rumahku pun ada blue fire yang biasa ibuku gunakan untk memasak. Tak perlu lah bertaruh nyawa hanya untuk melihatnya. Sempat terlintas raut wajah orang tuaku yang tak rela ditinggal anaknya pergi di hari H idul fitri ini. Cibiran tetangga, orang tua kawan setim perjalananku yang aku culik anaknya nampaknya telah hadir padaku dalam bentuk asap belerang. Inilah karma yang aku dapat. Tak lama setelah cukup puas berfoto, mengabadikan moment kebodohanku yang takan pernah aku lakukan lagi. Segeralah aku tinggalkan tempat yang mungkin takan pernah aku kunjungi lagi ini.
Syukur, aku maih diberi kesempatan untuk bernafas lebih lama lagi. Aku selamat dan turun sampai kembali ke rumahnya Ingus lagi. Aku pun pulang membawa kesan, pengalaman yang tak terlupakan dan satu lagi bau belerang yang tak hilang selama seminggu di setiap senti seluruh pakian yang aku kenakan saat mendaki. Sama seperti bau belerang, gelak tawa diantara kami pun tak henti-hentinya keluar saat kami kenang ketololan kami yang dengan bodohnya masuk ke zona berbahaya tanpa mempedulikan peringatannya.
senyum ternyesek sisa-sisa sadisnya asap belerang
    email this       edit

0 comments:

Post a Comment