Jul 19, 2016

Published 11:54 AM by with 0 comment

Gunung Batur : Sebuah Awal Petualangan Kecilku

Seperti halnya sebuah pondasi yang akan menentukan kokoh tidaknya sebuah bangunan, langkah awal adalah hal yang menentukan keberhasilan sebuah rencana. Setiap orang pasti akan berbuat yang terbaik untuk mengawali setiap langkahnya hingga mencapai kesuksesan. Apalagi, hal tersebut berkaitan dengan target besar yang menentukan masa depan seseorang. Demikian halnya denganku, aku akan memberikan usaha terbaiku dalam setiap awal perjalanan hidupku. Seperti yang aku alami saat pendakian gunung pertamaku di Gunung Batur pada awal tahun 2014 lalu. Pendakian ini Menjadi sangat penting bagiku. Pendakian ini menjadi pondasi yang mendasari kokohnya petualangan ku kelak. Pendakian ini menjadi awal petualanganku menggapai puncak-punak tertinggi tanah Indonesia lainnya. Setiap pengalaman, pelajaran dan nilai moral yang aku peroleh dari langkah awalku ini akan terpatri dalam benakku. Banyak kenangan yang membekas dalam langkah awal petualangan ku ini, dari mulai susahnya melakukan persiapan, suka duka yang aku alami di perjalanan, dan manisnya kesuksesan mencapai puncak.

Satu kata yang bisa mewakili perasaanku saat mengetahui rencana pendakian ini adalah “Bergairah”. Tidak berlebihan jika diingat-ingat apa yang terjadi saat itu. Meski Batur bukanlah gunung yang memiliki tingkat kesulitan yang “wah”, tapi persiapan yang kami lakukan kala itu saat itu sangatlah “wah”. Seminggu sebelumnya kami menjadwalkan latihan fisik yang ketat. Tidak cukup hanya mempersiapkan fisik, informasi tetek bengek tentang gunung pun tidak lepas dari perhatian kami. Artikel tentang jalur pendakian gunung batur dan informasi lainnya memenuhi riwayat pencarian di laptop kami. Tidak bosan-bosannya kami juga mengintrogasi setiap orang yang pernah mendaki gunung purba ini (sebaliknya, mereka mungkin sudah sangat bosan menanggapi setiap pertanyaan kami kala itu). Terkesan sepele memang, tapi bagi kami yang masih amatir informasi itu sangat berharga saat itu.

Dari awal kami sudah dicekoki dengan doktrin bahwa pendakian ini merupakan sebuah pembelajaran dalam me-manage sebuah perjalanan. Rumitnya administrasi tentang, perijinan dan pemberitahuan pun dengan berat hati kami harus jalani. Kalian yang sudah khatam dengan pendakian ke gunung batur mungkin akan mentertawai persiapan kami saat itu. Namun, seperti yang aku sampaikan di awal, perjalanan ini adalah lembaran awal yang akan menjadi pengantar ke perjalanan lainnya. Walau sempat rasa pesimis menggoyahkan semangat kami yang menggebu-gebu di awal, pada akhirnya semua berhasil kami lewati dengan baik. Kami pun sampai pada hari dimana kaki ini benar-benar menjejakkan langkah pertamanya di Gunung Batur.


Penampilan kami jika dinilai oleh ahli fashion gunung, mungkin hanya mendapat point enam. Ada yan berpenampilan layaknya petugas dinas kehutanan yang sedang berpatroli, dan bahkan ada pula yang dengan bangganya memakai seragam ala ibu pejabat pemkab yang sedang mengahdiri acara jalan santai. Kemudian, yang lainya dengan percaya diri dengan kostum ‘anak punk’nya, dan sisanya mengenakan pakaian khas anak alay (maklum kebanyakan dari kami baru lulus SMA). Tapi tenang saja, dengan persiapan yang matang dan dengan barang bawaan yang tersusun rapi di dalam tas, kami siap mengawali petualangan kami ini.

Ini merupakan perjalanan awal kami sebagai tim. Kami merasa kesulitan untuk menjalin kekompakan sebagai tim yang solid. Memang penyesuaian membutuhkan proses yang memakan waktu lama. Untuk awal susah sekali mencairkan suasana di perjalanan. Sesekali candaan yang dilontarkan tidak ubahnya seperti kerupuk terasa renyah didengar. Sepanjang perjalanan, tidak jarang kami lalui hanya dengan diam tanpa bersuara. Jaga image, itu la yang menghambat kami dalam mengakrabkan suasana. Untuk sekedar kentut pun kami masih pikir-pikir. Pantang rasanya untuk kentut dengan merdeka di depan teman yang lain. Kalau menurutku sih salah satu tolak ukur keakraban suatu pertemanan mereka bisa dengan bahagia, tertawa bersama untuk hal kecil contohnya kentut. Hal sederhana seperti itu saja sulit kami lakukan. Padahal kekompakan adalah modal utama untuk melalui perjalanan di alam bebas.

Ego adalah musuh utama kami saat itu. Setiap anggota tim semestinya mampu menahan egonya masing-masing. Pengalamanku pribadi adalah contoh lainnya. Dengan alasan yang kurang bisa ku terima, aku ditunjuk sebagai tim sweeper. Walaupun memang badanku yang paling tinggi, tapi aku rasa aku tidak sekuat yang mereka bayangkan. Tapi aku terima saja amanah itu dengan berat hati. Sepengetahuanku, orang yang paling kuatlah yang cocok menjadi sweeper. Tim sweeper atau juga bisa disebut dengan penyapu biasanya berada diurutan belakang menjaga tim lainya yang berjalan di depan. Sesekali ia harus rela menunggu temannya yang kelelahan. Ibarat sebuah mesin, seorang sweeper harus rela berkali-kali memanaskan mesinnya. Badannya yang sudah mulai panas untuk berjalan jauh, harus kembali dingin dan perlu waktu lagi untuk memanaskannya. Hal ini lah yang membuat sweeper memerlukan tenaga ekstra. Sampai setengah perjalanan, dari mulai keringat panas sampai keringat dingin mulai bercucuran. Tenagaku pun semakin terkuras habis, begitu pula dengan kesabaranku. Betapa tidak, sampai dongkol berkali-kali aku harus menunggu teman-teman didepanku yang kecapaian. Dua kali lipat tenagaku habis untuk menunggu mereka. Ditambah lagi aku harus berpura-pura menjadi pahlawan mereka yang terus memberikan kata-kata penyemangat. Batur yang bagi para pendaki ulung bisa 4 kali bulak-balik dalam sehari, bagiku bisa sampai puncak dengan selamat saja sudah untung saat itu. Keringatku tidak hanya puas dengan membasahi bajuku tapi ia sampai menembus sampai lapisan jaket terluarku. Dari sana aku mendapatkan pelajaran gunung pertamaku bahwa ‘Sebisa mungkin kamu terlihat lemah dimata temanmu sesaat sebelum melakukan pendakian’.

Selain beban menjadi seorang sweeper, ada hal lain yang sedikit mengganjal pikiranku dan teman lainnya selama perjalanan menuju puncak. Ada yang kurang rasanya dalam dalam perjalanan kali ini. Jelas sekali karena anggota tim berkurang dua orang. Mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai di puncak, karena mereka menstruasi. Adat disana tidak memperkenankan pendaki yang sedang menstruasi untuk mendaki sampai ke puncak. Terlihat dari raut wajahnya, mereka kecewa karena tidak bisa menyertai kami sampai ke puncak. Kala itu sempat berpikiran untuk tetap memaksakan mereka untuk ikut. Namun dengan alasan yang aku belum bisa terima saat itu, Rekan-rekan senior yang mendampingi tidak sepaham dengan ku dan tetap tidak memperbolehkan mereka ikut serta. Akhirnya, dengan berat hati kami lanjuut kan perjalanan tanpa mereka. Belakangan aku baru sadar, bahwasannya ada maksud lain dari aturan adat tersebut. selain menjaga kesucian gunung batur yang dianggap suci oleh warga, aturan ini juga bermaksud untuk menjaga keselamatan pendaki. Secara ilmiah dapat di engerti bahwa seseorang yang sedang mengalami menstruasi secara otomatis daya tahan tubuhnya aka berkurang drastis. Untuk sekelas pendaki amatir seperti kami, sangat besar resikonya bila terus memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan dengan kondisi seperti itu. perlu jam terbang yang tinggiuntuk mengatasi resiko yang mungkin akan dihadapi. Dari situ kami belajar lagi satu hal, bahwa dalam mendaki gunung meraih uncak bukanlah hal utama dan segalanya. Lebih jauh lagi, yang harusmenjadi prioritas utama dalam mendaki gunung adalah pulang dengan selamat. Tentu merupakan kekonyolan yang nyata memaksakan untuk bisa meraih puncak, namun tidak bisa pulang dengan selamat.

Akhirnya Kita sampai di puncak dan pulang dengan selamat. Gunung pertamaku pun akhirnya dapat kuraih sebagai awal dari petualanganku yang lainnya. Meski, awalnya sempat dihadapkan pada situasi yang sulit dari mulai persiapan sampai pelaksanaannya, pada akhirnya semua dapat terlewati. Bersyukur bisa turun kemballi dan bertemu dengan teman-temanku yang menunggu di bawah. Setelah melihat mereka, perasaan hampa pun berubah. Disanalah kami merasa lengkap kembali. Setelah pendakian itu kami merasakan, hubungan kami menjadi lebih akrab lagi. Mulai saat itu, pondasi awalku untuk melanjutkan petualang selanjutnya telah dibangun kokoh berkat pengalaman berharga yang aku alami selama pendakian tersebut.
Read More
    email this       edit
Published 7:03 AM by with 0 comment

Menggapai Puncak-puncak Tertinggi Pulau Bali

Tinggal di Bali merupakan suatu anugrah yang aku dapatkan. Mengingat tidak banyak anak desa sepertiku yang berkesempatan mencicipi keindahan pulau ini. Keindahan alam dan kearifan budayanya telah mendorong jiwa petualangku untuk bisa mengeksplorasi lebih dalam seluk-beluk pulau cantik ini. Menjelajahi setiap jengkalnya bahkan sampai ke tempat-tempat yang belum dikenal banyak orang. Bicara soal tempat menarik di Bali, orang secara umum akan terbayang dengan keindahan pantai-pantai tersohor di Bali seperti Kuta, Sanur, Lovina dan pantai lainnya. Dulunya aku pun berpikiran demikian. Sebelum aku mengenal lebih jauh pulau ini, yang terlintas di benakku saat mendengar kata “Bali” adalah suasana pantainya. Deburan ombak, pasir putih yang halus, pohon kelapa yang tertiup angin, terbayang jelas di otakku. Maka tidak aneh, saat pertama aku tiba di Bali, hampir 7 hari dalam seminggu, Aku habiskan soreku dengan mandi di pantai dekat rumahku. Namun, seiring berjalannya waktu, pandanganku tentang bali kian bergeser. Semakin lama aku menetap disini semakin tahu tempat menarik lain yang bisa kutemui di Bali. Ditambah lagi, pengalamanku bergelut di dunia kepencintaalaman selama kuliah telah membawaku ke tempat-tempat menarik lainnya yang belum diketahui banyak orang. Akhinya, aku mengenal bali dari sudut pandang yang berbeda dari sebelumnya. Tidak Hanya pantai, bali dengan paket komplitnya memiliki pesona alam yang lengkap.

Lalu, perhatianku pun tertuju ke pegunungan yang ada di Bali. Tidak banyak orang tahu bahwa Bali juga memiliki banyak Gunung yang tidak kalah indahnya dengan gunung-gunung lain di Indonesia. Di sini bentangan gunung tersusun menyambung satu dengan yang lain dari ujung barat sampai ke timur pulau. Di tempatku tinggal, di Bali utara, bentangan pegunungan terlihat seperti dinding tinggi yang memanjang dari barat sampai ke timur. Jika kita datang dari arah Gilimanuk melewati jalan yang mengarah ke Singaraja, maka sepanjang jalan kita akan ditemani dengan dinding yang membentang jauh di kanan kita. Beginilah kondisi geograis tempatku tinggal. Selain berdekatan dengan garis pantai, Bali utara juga dilalui garis dataran tinggi berupa pegunungan di sebelah selatan. Penomena ini kemudian menarik perhatianku. Betapa tidak, tidak pernah sebelumnya aku temui yang namanya gunung di desaku sebelumnya. Yang ada disana hanyalah hamparan sawah sejauh mata memandang. Sekarang berbalik 180 derajat, jauh ke selatan sana nampak pemandangan yang asing bagiku. Bukan lagi sawah yang luas, tapi bentangan pegunungan dengan hutannya yang luas. Belakangan aku tahu hutan tersebut biasa dikenal dengan nama Hutan Renon dan sebagian lagi merupakan Hutan TNBB (Taman Nasional Bali Barat) yang dilindungi pemerintah. Dimulai dari rasa penasaran, keingintahuanku tentang gunung berubah menjadi sebuah obsesi. Saat aku SMA, pernah beberapa kali aku menjajal kenekatan ku dengan mencoba mencari jalan, mendaki bukit dan memasuki hutan. Hampir di setiap desa, Aku dan teman-temanku coba mencari jalan sampai ke tempat tertingginya. Namun, usaha kami terbilang sia-sia, bisa dibilang tempat yang sudah kami lalui itu masih belum dikatakan sebagai puncak. Kalau di analogikan hanya sebatas sampai di kuku jempol pegunungan tersebut. Dari semenjak itu lah, Aku pun bermimpi untuk bisa menggapai puncak-puncak tertinggi Pulau Bali. Aku ingin melihat bali dari sudut pandang yang berbeda, melihat keindahan alam bali dari ketinggian dan bisa merasakan sensasi suasana hutannya yang asri.

Kesempatan yang aku peroleh cukup banyak aku dapatkan setelah aku kuliah dan aktif sebagai angota Mahasiswa Pencinta Alam di kampusku. Hingga akhirnya aku bisa meraih beberapa diantara 10 puncak tertinggi Bali. Suatu hal yang mustahil aku dapatkan sewaktu aku SMA dulu, dengan ilmu, dan pengalaman yang minim di Bidang ini.
Mulai dari Gunung Batur(1.717 mdpl) yang menjadi awal bagiku mendaki gunung yang sebenarnya.

Dilanjutkan dengan Gunung Abang (2.152 mdpl) dengan pura dan ornament khas peninggalan Bali Kunanya.
Kemudian, yang tertinggi di Bali, Gunung Agung yang telah menjadi penutup akhir tahun 2014 lalu.
Selanjutnya, Gunung Batukaru dan Pura tertingginya menjadi wisata religius gunung pertamaku.



Dan yang terakhir adalah Pucak Mangu dengan kerapatan hutannya.
Setelah mendaki beberapa gunung tersebut aku sadar bahwa umat hindu di Bali menjadikan puncak-puncak tertinggi di Bali, kususnya gunung-gunung tertinggi sebagai tempat yang disucikan. Hampir disetiap puncak yang pernah aku kunjungi terdapat puranya. Pura tersebut sering dikunjungi untuk keperluan peribadatan baik itu di hari-hari biasa maupun ari-hari besar/raya umat hindu. Hal ini juga menjadi faktor dalam pelestarian potensi keindahan alam Bali. Masyarakat yang menghargai alam dalam hal ini gunung dan hutannya sebagai tempat suci akan senantiasa menjaga dan melestarikannya.

Belum cukup puas, beberapa puncak tertinggi lainnya yang masih belum terealisasi masih menunggu untuk didaki. Jiwa petualangku tidak sabar rasanya ingin segera kembali memasuki hutan dan mendaki gunung. Harapanku semoga mimpi kecilku untuk menggapai puncak-puncak tertinggi Bali bisa terwujud kelak.
Read More
    email this       edit

Jul 10, 2016

Published 3:16 AM by with 0 comment

Aku dan Kepriadianku (Sebuah Perkenalan Singkat)

Pernahkah kamu secara sadar melihat dan menilai karakter yang melekat dalam dirimu ? lalu taukah kamu hal apa yang sudah membentukmu sedemikian rupa menjadi seperti kamu saat ini ? Kebanyakan orang tidak sadar akan karakter yang melekat dalam dirinya sendiri. Terlebih lagi banyak orang yang tidak sadar akan hal-hal yang sudah mempengaruhinya sedemikian rupa hingga menjadi seperti sekarang ini. Tentu memahami karakter diri sendiri dan tahu apa yang melatarbelakanginya menjadi suatu hal yang menarik. Bila diperhatikan lebih jauh lagi, memang benar bahwa latar belakang kehidupan seseorang menjadi salah satu faktor utama yang membentuk karakter orang tersebut. Seseorang akan tumbuh sesuai dengan doktrin, tempaan, ataupun pengalaman yang ia lalui semasa hidupnya. Hal yang sama pula yang aku pikirkan tentangku saat ini. Aku dengan segala sifat yang kumiliki tentunya tidak serta merta tumbuh begitu saja tanpa ada penyebabnya. Pastinya ada hal yang telah membimbingku untuk menggemari kegiatan petualangan, mencari tempat baru, bersosialisasi dengan masyarakat baru. Kemudian, haruslah ada alasan kenapa aku begitu termotivasi untuk menuntut ilmu duniawi dan ilmu agama setinggi-tingginya hingga kini bersyukur aku bisa melanjutkan kuliah. Aku pun menyadari bahwa begitu banyak hal yang telah mempengaruhiku semenjak aku dilahirkan ke dunia ini sampai aku tumbuh dewasa. Begitu banyak moment juga yang berkesan dibenakku dan tanpa disadari telah berimbas pada karakter yang aku miliki saat ini. Sejauh yang aku sadari, ada beberapa hal yang sudah membentuk karakterku diantaranya ialah keluargaku yang telah mendidiku selama ini dan Lingkungan masyarakat dimana aku tinggal. Keduanya menjadi fator penting yang menentukan karakterku sebagai seorang manusia.

Setiap orang tentunya dilahirkan dengan keadaan keluarga yang berbeda-beda. Begitu pula halnya denganku. Aku lahir dan besar ditengah-tengah keluarga yang unik. Kedua orangtuaku memiliki latar belakang budaya yang berbeda, ibuku seorang wanita sunda yang tinggal di pedesaan. Ia telah mendidiku dengan kasih sayangnya yang khas. Nilai-nilai kearifan lokal dan agama banyak aku peroleh dari lingkungan ibu dan keluarganya yang tinggal di desa. Pola pikir masyarakat desa yang lugu dan sederhana masih dipegang erat oleh keluarga ibuku. Meskipun ibuku tidak berpendidikan tinggi dan hanya bisa mengenyam pendidikan dasar, di sisi lain pendidikan agamanya jangan lah ditanya, secara ia tinggal di desa santri. Ia adalah salah satu inspirasiku, karenanya sisi lembut dari kepribadianku tentu merupakan hasil dari didikannya karena.

Di sisi lain darah minang mengalir dalam sosok ayahku. Jiwanya yang keras sebagai mana dimiliki para perantau ulung suku minang lainnya, juga telah mewarnai karakterku. Maklum saja, ia dibesarkan dalam situasi sulit yang dihadapi keluarganya. Ia dan keluarga besarnya dihadapkan pada kerasnya atmosfir persaingan hidup di rantauan. Itulah sebabnya nasib ayahku tidak jauh berbeda dengan ibuku, ia hanya bisa merasakan bangku SMP dikarenakan kesulitan ekonomi yang keluarganya hadapi. Sebagai keluarga pendatang yang tinggal ditengah-tengah suatu masyarakat, mereka harus tetap menunjukan eksistensinya dengan cara apapun untuk bisa bertahan hidup. Kondisi ekonomi yang pas-pasan begitu pula keadaan pendidikan yang rendah tidak menghalangi mereka untuk menunjukan taringnya dalam ketatnya persaingan hidup saat itu. Kesan sangar, preman melekat pada keluarga ayahku. Di masa-masa sulit itu ia dan lima saudara laki-lakinya sudah terbiasa bergaul dalam dunia pergaulan bebas. Dengan demikian watak keras pun terbentuk dengan sendirinya. Tidak heran nada-nada tinggi biasa diucapkan oleh ia dan keluarga lainnya.

Namun, disisi lain nilai-nilai tanggung jawab dan tolong menolong sangat kental aku rasakan dalam keluarga ayahku. Kehidupan yang sulit telah menempa solidaritas mereka sebagai saudara. Sebagai contoh, kakek selalu mengajarkan anak-anaknya bahwa seorang kakak harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada adiknya tidak peduli apapun masalahnya. Bila seorang adik pulang ke rumah sambil menangis karena berkelahi, maka sang kakak lah yang menjadi bulan-bulanan kakek. Sang kakak tidak diijinkan pulang sebelum bertemu dengan orang yang telah membuat adiknya menangis. Nilai-nilai solidaritas semacam itu pula yang meraka terapkan dalam keluarga. Tidak heran kalau hubungan kakak-beradik diantara ayahku dan saudara-saudaranya yang lain sangat erat. Sampai-sampai aku menganggap paman dan bibiku sebagai orangtuaku sendiri. Seperti pribahasa yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, begitu pula dengan yang kualami bahwasanya banyak nilai-nilai, doktrin serta tempaan yang telah mereka wariskan kepadaku. Nilai-nilai solidaritas yang mereka pegang teguh dan jiwa yang tegar dalam menghadapi persoalan tertanam dalam diriku. Di sisi lain, melihat keadaan keluargaku yang masih jauh tertinggal dari segi pendidikan dalam hatiku muncul niatan untuk merperbaiki kualitas diri setidaknya lebih baik dari mereka. Mereka menjadi motivasiku untuk belajar lebih giat lagi. Kini aku sadar bahwa mereka lah keluarga besarku yang telah memberikan porsi yang cukup besar dalam membentuk karakterku.

Setelah keluarga, faktor lain yang mempengaruhi kehidupanku ialah lingkungan masyarakat dimana aku tinggal. Aku lahir dan tumbuh di lingkungan pedesaan di Jawa Barat yang masih jauh dari keramaian kota Karawang sebagai kabupatennya. Nama desaku ialah desa Sukasari, biasa juga disebut dengan desa Cengkong. Tidak tahu persis kenapa orang-orang memanggilnya demikian, namun yang Aku tahu disini masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong. Disini lah aku habiskan sebagian masa kecilku dengan teman-teman sebayaku. Aku masih sempat merasakan asyiknya permainan-permainan tradisional ala pedesaan.

Memang benar bahwa masa kecil seseorang memiliki andil besar dalam membentuk karakter seseorang. Aku dapat membayangkan dengan jelas suasana yang aku alami saat menghabiskan waktu bersama dengan teman-temanku. Belakangan baru aku sadari bahwa aku dan teman-teman sepermainanku dulu adalah salah satu generasi terakhir yang masih bisa menikmati asyiknya permainan traditional khas pedesaan. Saat aku pulang kampung tahun 2015 yang lalu, terlihat sekali arus moderenisasi sudah merambat kedunia anak-anak. Hari-hari mereka lalui dengan gadget dan hampir tidak pernah aku lihat anak-anak yang bermain sepertu yang kami lakukan dulu. Dari mulai permainan di sekitar halaman rumah sampai petualangan kecil yang kami lakukan di sawah,kebun, sungai dan tempat menarik ainnya di desaku bahkan sampai desa tetangga.

Desaku yang juga dikenal luas sebagai desa santri, mendorongku menjadi pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. hampir tidak pernah ku lalui petang hariku tanpa pergi mengaji ke pondok. Masyarakat disini semua berperan aktif dalam mengkontrol anak-anak dengan mendorong mereka untuk mengaji. Setiap mereka melihat anak-anak yang berkeliaran sehabis magribh dengan sendirinya mereka akan menyuruh anak tersebut pergi mengaji. Jadi, berkeliaran saat magribh merupakan hal yang memalukan bagiku dan anak-anak yang lain saat itu. Seperti tetesan air pada sebuah batu sedikit-demi sedikit akan mengikis batu tersebut, beitu pula denganku, segala pengalaman yang aku lalui selama berada di kampung halamanku ini tertanam dalam diriku sampai aku tumbuh dewasa.

Namun, tidak hanya desa ini yang menjadi bagian dari cerita hidupku, tempat lain yang menjadi lembaran kisah hidupku adalah Bali. Bali yang merupakan pulau eksotis dengan masyarakatnya yang ramah tidak disangka-sangka menjadi tempatku berlabuhku selanjutnya. Kepentingan keluarga lah yang mendesak kami untuk berpindah ke Bali untuk menyusul keluarga lainnya. Sampai saat ini, setengah usiaku sudah aku habiskan disini. Di waktu selama itu, banyak hal yang telah aku lalui dan pastinya sudah membekas di hatiku. Bali sudah membuka wawasanku sehingga aku bisa tahu banyak hal yang tidak pernah terpikirkan sama sekali saat aku tinggal di cengkong.

Tinggal dan berbaur bersama mereka telah mewarnai lembaran kisahku menjadi lebih indah dan beragam. Sebagai kaum pendatang kami dituntut untuk dapat menghargai kearifan lokal yang ada disini. Disini aku sadar tentang nilai-nilai toleransi dalam masyarakat yang multikultural. Sungguh merupakan karunia yang luar biasa bisa mempelajari budaya masyarakat bali yang banyak dikagumi orang ini. Menjalin hubungan persahabatan dengan warga disini terasa begitu mudah, sejauh yang aku temui warga disini tidak tertutup dengan orang pendatang. Sampai saat ini aku punya beberapa sahabat yang merupakan warga asli bali. Salah satunya bernama Kadek Widiadnya, kami sudah seperti keluarga saja. Aku sering berkunjung ke rumahnya dan setiap pulang pasti saja ada yang aku bawa pulang sebagai oleh-oleh dari keluarganya.

Selain keramahan warganya keindahan alam disini juga mengajariku banyak hal. Keindahan alam disini telah menarik hatiku untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Seakan membangkitkan jiwa petulangku kembali, setalah puas melakukan petualangan kecil di desaku, disini aku semakin dimanjakan dengan keindahan alamnya. Bisa dibilang tempat dimana kutinggal ini cukup strategis. Aku tinggal di desa Penyabangan, letaknya yag cukup jauh dari pusat keramaian semakin menambah kesan tradisional. Bentangan alam disini sangat memukau hatiku. Tempatku tinggal berdekatan dengan garis pantai dan secara bersamaan juga berdekatan dengan perbukitan. Tempat semacam ini tidak penah aku temui sebelumnya di desaku. Selama ini aku baru tahu yang namanya pantai itu hanya dari televisi, dan sekarang aku hanya tinggal berjalan kaki 10 menit saja sudah bisa berenang di pantai. Tidak heran, kalau selama seminggu pertama setiba di disini, aku habiskan soreku di pantai bermain-main sepuas hatiku sampai matahari tenggelam. Tinggal di Bali, aku bermetamorfosa menjadi perenang ulung. Aku berenang sampai jari-jari tangan ku keriput. Seminggu berlalu Kulitku pun gosong dan rambut menjadi lepek dibuatnya, hampir sama saat aku bermain di sawah ketika musim layangan tiba di kampung halamanku, bedanya rambutku tidak lepek.

Selain pantai, sejauh mata memandang garis perbukitan membentang di arah yang berlainan. Aku penasaran adakah jalan setapak yang menuju kearah sana. Setelah mendapatkan informasi ternyata ada jalan menuju kesana dan hanya pemburu dan warga sekitar saja yang mencari kayu bakar yang biasa melewati jalan setapak ke perbukitan itu. Namun berkat insting petualang yang aku miliki, dari sekian banyak perbukitan yang tersebar di setiap desa, hampir semuanya pernah aku kunjungi. Menakjubkan sekali pemandangan dari atas sana. Beberapa diantaranya memiliki mata air dan bahkan pernah kutemui air terjun di dalam hutannya. Belakangan aku baru tahu hutan itu bernama hutan renon. Semenjak tinggal di bali ini aku semakin mencintai keindahan alam suatu tempat dan ingin mengetahuinya lebih jauh lagi. Begitu halnya dengan budaya yang ada dalam suatu masyarakat tertentu yang belum pernah aku temui sebelumnya. Pada intinya, Bali telah membangkitkan insting petualang kecilku dulu yang mulai tumbuh saat tinggal di kampungku.Oleh karena itu kedua tempat entah itu kampung halamanku ataupun tempat tinggalku Bali, keduanya menjadi tempatku belajar banyak hal yang akhirnya membentuk kepribadianku sekarang

Pada akhirnya, aku sadar bahwa segala macam bentuk prilaku, sifat dan karakter yang tercermin dalam hidupku tidak terlepas dari latar belakang kehidupanku. Didikan, dan bimbingan dari kedua orang tuaku dan keluarga lainnya telah menjad dasar peganganku dalam bertindak. Pengalaman yang aku dapatkan selama hidup di dua lingkungan masyarakat yang berbeda juga telah banyak mengajarkanku pelajaran yang berharga.


Read More
    email this       edit
Published 3:09 AM by with 2 comments

Nge-Blog: Aktivitas baru-Semangat baru

Pada dasarnya aku adalah tipikal orang yang senang melakukan hal baru. Hal baru bagiku merupakan suatu tantangan yang menanti untuk ditaklukan. Menaklukan tantangan menjadi suatu kepuasan tersendiri bagiku. Berhasil atau tidak itu urusan belakang. Kini aku merasa tertantang untuk mulai menulis ceritaku sendiri. Aku mulai melirik menulis sebagai hobiku yang lain. Aku tidak yakin betul dari mana datangnya keinginanku untuk menulis . Setelah ditilik lebih jauh lagi kebelakang, aku teringat masa SMP ku dulu. Aku ingat betul Guru IPS ku dulu, pak Weti Petrus namanya. Beliau pernah menceritakan pengalamannya sewaktu masa-masa sekolahnya. Beliau mengatakan bahwa ia dulu menulis diarinya sendiri selama ia masih sekolah. Ia menceritakan dengan antusias bahwa sampai sekarang ia kadang membacanya kembali untuk mengenang masa-masa sekolahnya dulu. Setelah bercerita pengalamannya itu, ia menganjurkan siswanya untuk membuat diari. Ini berguna selain untuk melatih kemampuan menulis, juga untuk mendokumenasikan setiap pengalaman yang pernah dialami ujarnya. Semenjak itu, aku terinspirasi dan mulai menulis diariku sendiri, sayangnya hanya bertahan dua bulan saja. Sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana nasib "diari dua bulan" ku itu. Alasannya mungkin karena bosan menulis hal-hal yang monoton kala itu, mengingat juga kemampuanku untuk mengekspresikan ide dalam sebuah tulisan masih sangat terbatas. Itu lah pengalaman menulis pertamaku.

Minat dan kemampuanku dalam menulis tidak mengalami peningkatan yang signifikan setelah aku beranjak dewasa. Seingatku, aku malah tidak suka jika diminta guruku untuk menulis rangkuman materi pelajaran. Aku juga malas bila di suruh membuat essay atau pun resume saat aku melalu masa-masa ospek dulu. Terakhir aku juga kurang bersemangat saat menulis proposal penelitianku yang harus aku selesaikan sebagai syarat aku lulus dalam suatu mata kuliah. Alasannya mungkin karena tekanan yang diberikan padaku saat itu, dan topiknya yang aku kuasai dan minati. Aku merasa tidak bergairah untuk menulis dengan tekanan seperti itu dan kebanyakan hasil tulisanku pun kurang memuaskan. Alasan lainnya yang mungkin menjadi motivasi seseorang untuk menulis adalah apresiasi atas karyanya. Setiap orang bakalan senang melihat tulisannya diapresiasi atau disukai banyak orang. Belum pernah sama sekali aku mendapatkan apresiasi untuk tulisanku. Sampai moment yang berharga itu datang padaku. Jadi, Beberapa tahun ke belakang, pernah beberapa kali aku mengirim tulisan di sebuah majalah, dan tanpa disangka-sangka tulisanku secara berturut-turut diapresiasi oleh mereka, aku dihadiahi sebuah SD card, flashdisk, dan terakhir sebuah daypack. Momen itu sangat berarti bagiku. Bukan soal hadiahnya tapi soal penghargaan yang mereka berikan. Itu lah yang sangat berkesan bagiku. Mungkin itu penghargaan pertama yang aku dapatkan untuk tulisanku. Sejak moment itu aku bersemangat kembali untuk menulis.

Sementara ini ku tidak memiliki tempat untuk menyalurkan niatku untuk menulis. Lalu aku kenal dengan yang namanya blog. Dengan blog setiap orang bisa dengan bebas mengekspresikan idenya untuk menulis. Orang pun bisa berbagi karyanya dengan orang lain, bertukar informasi, memberikan saran dan lain sebagainya. Akhirnya aku memutuskan untuk membuat blogku sendiri. Tidak muluk-muluk, selain mengasah kemampuan menulisku, setidaknya dengan blog aku juga bisa mengabadikan setiap moment-moment yang penting bagiku. Terlebih lagi, aku gemar sekali jalan-jalan ke tempat baru. Sayang sekali kalau tidak ada yang kuhasilkan perjalananku itu. Aku yakin bahwa pasti aka nada cerita di balik setiap perjalanan. Aku pun sadar bahwa ingatan manusia tidak sekuat ingatan gajah. Seiring berjalannya waktu, kepingan ingatanku akan memudar. Oleh karenanya dengan blog ini lah aku tuliskan semua kenangan berharga itu. Ya, boleh dibilang mirip-mirip lah dengan "diari dua bulan" ku dulu, bedanya di blogku ini aku bisa lebih narsis. Berharap kelak anak cucuku bisa melihat seperti apa aku sewaktu masih muda. Siapa tahu mereka kelak terinspirasi untuk melakukan hal serupa bahkan melebihi yang sudah aku lakukan. Isi blogku ini berupa catatan perjalanan, puisi, syair, ataupun bentuk tulisan lainnya yang didasarkan pada pengalaman pribadiku sendiri. Untuk masalah nama, aku beri nama 'Create-Trips'. Aku plesetkan dari kata creative dengan menambahkan kata trips di belakangnya. Aku tidak terpikirkan nama lain yang lebih bagus untuk blogku. Cukuplah nama ini sudah mewakili tujuan dari dibuatnya blog ini yakni menyediakan wadah bagiku untuk berkreasi atas setiap perjalanan yang aku lalui.


Sebenarnya ide ini sudah muncul sejak tahun 2013 yang lalu, saat itu aku mulai cari informasi lebih banyak tentang bagaimana menjadi seorang blogger. Maklum saja, hal semacam ini aku masih terlalu awam untuk menguasainya. Butuh proses yang memakan waktu lama, sampai aku percaya diri mengoperasikannya. Hingga kemudian pembuatan Bloggku ini baru bisa terealisasi di tahun 2015. Itu pun setelah blog dibuat, aku tidak langsung aktif menulis. Kesibukanku di kampusku telah banyak menyita waktuku, sehingga aku baru bisa aktif menulis beberapa bulan kebelakang ini tepatnya pertengahan tahun 2016. Aku sih berharap, bisa terus aktif menulis secara rutin, dan terus memperbaiki tulisanku menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Read More
    email this       edit

Jul 4, 2016

Published 1:49 AM by with 0 comment

Hidup adalah pilihan

Malam ini adalah minggu terakhir bulan ramadhan tahun 2016. Banyak yang bilang malam ini adalah malam yang suci bagi umat muslim, membuatku bersemangat untuk menulis kembali. Suasana malam ini terasa cukup tenang dan sepi, mengingat sebagian besar sanak saudaraku pergi mudik ke kampung halaman. Hanya tersisa keluargaku yang tinggal dan tidak ikut melestarikan tradisi mudik ini. Kami memilih untuk tidak mudik karena keterbatasan biaya yang kami miliki. Teringat dengan petuah dosenku bahwa hidup itu pilihan, dan keputusan ini merupakan pilihan tunggal yang kami harus ambil, ya karena memang tidak ada pilihan lain lagi.

Walaupun demikian rutinitas keluargaku tetap berjalan seperti biasanya. Sebagimana tradisi yang kami biasa lakukan menjelang lebaran, ibu dan adikku kini tengah sibuk dengan adonan dan loyangnya. Mereka membuat aneka macam kue kering khas lebaran seperti nastar, caling gajah, dan kue salju. Alhasil, seisi ruangan pun tercium aroma manis khas yang mengundang air liurku. Bapakku yang kecapean setelah bekerja seharian sudah tertidur pulas sesaat setelah shalat trawih tadi. Rasa capeknya menyelamatkan kue-kue yang baru saja matang, Karena biasanya ia tidak pernah absen mencicipi setiap masakan ibuku. Tidak ada masakan ibuku yang tidak ia anggap enak, atau lebih tepatnya tidak ada makanan yang ia anggap tidak enak. Ya, itu lah bapakku selalu menghargai makan dengan caranya. Berbeda dengan ku, kue kering tadi tidak bisa lolos begitu saja tanpa aku cicipi. Bukan mencicipi, lebih tepatnya menghabisi. Tidak heran perbuatanku ini membuat Adiku yang sudah capek membuatnya menggerutu. Maklum lah, moment pulang ke rumah adalah moment bagiku untuk memperbaiki gizi. Seminggu lebih hidup di kota sendiri dengan keterbatasan biaya hidup membuat asupan gizi dalam tubuhku menurun drastis. Apalagi bulan puasa sekarang bertepatan dengan masa-masa uas. Makan tidak teratur, tidur tidak teratur, tetapi tugas dan kewajibanku sebagai mahasiswa semakin menumpuk. Mungkin hal ini sudah menjadi hal klasik bagi kebanyakan mahasiswa lainnya. Maka di rumah lah tempat karantinaku yang bisa memulihkan kondisi fisik dan mentalku. Ibuku dengan indra keenamnya bisa merasakan apa yang aku rasakan, setiap datang jadwalku untuk pulang, dengan susah payah ia selalu memasakanku makanan yang enak. Termasuk hari ini, tidak seperti adikku yang menggerutu, ia selalu senang meilhatku mencicipi (menghabisi) setiap makanan yang ia masak. Memang sih, kue ini untuk dimakan lebaran nanti, tapi badanku sudah kurus kering dan perlu diberikan asupan gizi yan baik segera, pikirku.

Ditengah asyiknya aktivitas membuat dan mencicipi kue ini aku berusaha mengakrabkan diri dengan adikku lagi. Keterbatasan waktu ku dan seringnya konflik yang terjadi diantara kita semakin membuat hubunganku dengannya kian menjauh. Yang paling sering adalah konflik sengketa motor diantara kita. Konflik ini selalu menghiasi hari-hari kami dirumah. Adikku yang sudah besar dan mulai memasuki masa puber tidak bisa lepas dengan motor, walaupun sebenarnya belum dianggap perlu ia menggunakan motor. Namun, belakangan ini ia mulai disadarkan oleh kecelakaan yang ia alami tempo hari. Ia mulai mengurangi keinginan untuk menggunakan motor. Dari kehjadian itu aku mulai bersimpati dengan keadaan adiku ini. Di masa pubernya, ia kekurangan kasih sayang bimbingan dari orang tua. Orangtuaku keduanya bekerja dan sedikit sekali bisa meluangkan waktu dengan adikku. Tidak heran sih, kalau hari-harinya selalu dihabiskan dengan bermain HP dan motor. Ia mencari tempat diamana ia bisa mencurahkan kegundahannya dalam memasuki dunia remaja. Aku pun tersadar bahwa ini juga adalah tanggung jawabku sebagai kakak untuk membimbingnya dan bukan hanya memarahinya ketiaka ia melakukan kesalahan. Malam ini aku pun mulai kembali melakukan pendekatan lebih dalam lagi dengan adikku. Sepanjang malam kami bercakap-cakap seputar aktivitasnya terkhusus terkait pendidikannya yang akan memasuki dunia SMA. Saat ini ia sedang bingung dalam memilih jurusan apa yang ia akan ambil nanti setelah masuk di SMA. Sebenarnya ia cukup pintar dalam pelajaran di SMP. Ini terbukti dengan perstasinya yang beberapa kali meraih Juara di kelas. Namun kepintarannya tidak bisa meolongnya untuk sekedar memilih jurusan di SMA. Untuk hal sekecil ini saja ia tidak bisa memilih dengan penuh keyakinan, terlebih lagi saat kutanya cita-citanya ingin menjadi apa, wajahnya yang masih lugu semakin kebingungan. Hal semacam itu benar-benar berada diluar pikirannya. Miris sekali, padahal ini adalah hal mendasar bagi seorang anak untuk menentukan pilihan hidupnya sedari awal. Penomena semacam ini, aku yakin juga terjadi pada jutaan seusianya. Cita-cita dan pilihan hidup yang harusnya sudah tertanam sedari awal dan diarahkan oleh para orang tua nyatanya menjadi hal yang asing bagi anak-anak. Bila dianalogikan, nasib adikku dan anak senasib lainnya bagaikan penumpang bus yang tidak tau bisnya menuju kemana. Ia hanya bisa menikmati suasana bus yang ber-AC, dan fasilitaspendukung lainnya, tidak tahu kapan dan dimana bus akan berhenti. Bisa saja bus berhenti di tempat yang terpencil, mengerikan dengan penduduk yang tidak ia kenal, atau bahkan bus akan berakhir di jurang.

Mirisnya lagi, kegundahan yang dirasakan adikku, kembali aku rasakan. Walaupun aku sudah memahami konsep bagaimana menentukan pilihan hidup yang baik bagiku, namun nyatanya, aku masih belum bisa menilai diriku lebih dalam. Aku masih kesulitan untuk melihat bakat apa yang paling menonjol dalam diriku, serta aku pun kebingungan untuk menyeleksi sekian banyak minatku. Bagaimana mungkin, seorang calon sarjana pendidikan, masih kebingungan menentukan nasib hidupnya kedepan ingin menjadi apa. Di semester akhir ini, berbagai macam pilihan hadir melambai-lambia, merayu dan menunggu untuk dipilih. Bekerja/lanjut kuliah menjadi pilihanyang sangat sulit. Kalaupun harus bekerja, dimana aku bisa bekerja itupun masih diangan-angan. Beasiswa untuk kuliah pun tidak bisa menjadi pilihan yang utama bagiku saat ini. Tanggung jawabku sebagai anak pertama dari keluarga sederhana, dengan adik yang masih memerlukan biaya untuk sekolah menjadi semak belukar yang menghalangi jalanku untuk kuliah. Tidak rela rasanya hatiku untuk berkuiah kembali sementara kedua orang tuaku yang kesulitan mengais rezeki untuk membiayai hidup dan pendidikan adiiku. Memang sih orang tuaku menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Tidak banyak tuntutan yang mereka berikan kepadaku, aku saat ini kuliah aja merupakan pilihanku sendiri, mereka hanya bisa mendukung keputusanku. Orang tuaku adalah orang dengan emikiran polos dan sederhana. Tidak ada obsesi dan keinginan yang keras tentang bagaimana masa depanku kelak. cukup bagi mereka, bahwa aku hidup sehat dan dekat dengan agama. Impian yang sederhana namun sangat bermakna bagiku. Aku memaklumi karakter orang tuaku ini, mengingat keadaan mereka saat ini yang penuh dengan kesederhanaan. Sehingga aku berkesimpulan bahwa aku tidak bisa mengharapkan banyak pada orang tuaku dan semua kembali pada diriku sendiri untuk menentukan pilihan.

Malam pun semakin larut dan udara di luar terasa semakin dingin. Suara samar-samar ibu dan adikku yang sedang membuat kue lebaran tidak lagi terdengar. Sepertinya merek sudah tidur nyenyak. Sementara nyanyian malam berupa suara jangkrik dan deburan ombak dari arah pantai semakin keras terdengar. Berpikir keras tentang pilihan hidup membuat mataku semakin mengantuk. Masalah ini bukan lah hal yang mudah untuk diselesaikan tentunya. Aku pun sadar bahwa besok aku harus kembali beraktivitas. Maka kegundahanku malam ini cukup aku simpan dalam hati dan berharap segera kutemukan jawabannya. Akhirnya aku pun memilih untuk tidur.
  
taken from uldissprogis.com
Read More
    email this       edit