Jul 10, 2016

Published 3:16 AM by with 0 comment

Aku dan Kepriadianku (Sebuah Perkenalan Singkat)

Pernahkah kamu secara sadar melihat dan menilai karakter yang melekat dalam dirimu ? lalu taukah kamu hal apa yang sudah membentukmu sedemikian rupa menjadi seperti kamu saat ini ? Kebanyakan orang tidak sadar akan karakter yang melekat dalam dirinya sendiri. Terlebih lagi banyak orang yang tidak sadar akan hal-hal yang sudah mempengaruhinya sedemikian rupa hingga menjadi seperti sekarang ini. Tentu memahami karakter diri sendiri dan tahu apa yang melatarbelakanginya menjadi suatu hal yang menarik. Bila diperhatikan lebih jauh lagi, memang benar bahwa latar belakang kehidupan seseorang menjadi salah satu faktor utama yang membentuk karakter orang tersebut. Seseorang akan tumbuh sesuai dengan doktrin, tempaan, ataupun pengalaman yang ia lalui semasa hidupnya. Hal yang sama pula yang aku pikirkan tentangku saat ini. Aku dengan segala sifat yang kumiliki tentunya tidak serta merta tumbuh begitu saja tanpa ada penyebabnya. Pastinya ada hal yang telah membimbingku untuk menggemari kegiatan petualangan, mencari tempat baru, bersosialisasi dengan masyarakat baru. Kemudian, haruslah ada alasan kenapa aku begitu termotivasi untuk menuntut ilmu duniawi dan ilmu agama setinggi-tingginya hingga kini bersyukur aku bisa melanjutkan kuliah. Aku pun menyadari bahwa begitu banyak hal yang telah mempengaruhiku semenjak aku dilahirkan ke dunia ini sampai aku tumbuh dewasa. Begitu banyak moment juga yang berkesan dibenakku dan tanpa disadari telah berimbas pada karakter yang aku miliki saat ini. Sejauh yang aku sadari, ada beberapa hal yang sudah membentuk karakterku diantaranya ialah keluargaku yang telah mendidiku selama ini dan Lingkungan masyarakat dimana aku tinggal. Keduanya menjadi fator penting yang menentukan karakterku sebagai seorang manusia.

Setiap orang tentunya dilahirkan dengan keadaan keluarga yang berbeda-beda. Begitu pula halnya denganku. Aku lahir dan besar ditengah-tengah keluarga yang unik. Kedua orangtuaku memiliki latar belakang budaya yang berbeda, ibuku seorang wanita sunda yang tinggal di pedesaan. Ia telah mendidiku dengan kasih sayangnya yang khas. Nilai-nilai kearifan lokal dan agama banyak aku peroleh dari lingkungan ibu dan keluarganya yang tinggal di desa. Pola pikir masyarakat desa yang lugu dan sederhana masih dipegang erat oleh keluarga ibuku. Meskipun ibuku tidak berpendidikan tinggi dan hanya bisa mengenyam pendidikan dasar, di sisi lain pendidikan agamanya jangan lah ditanya, secara ia tinggal di desa santri. Ia adalah salah satu inspirasiku, karenanya sisi lembut dari kepribadianku tentu merupakan hasil dari didikannya karena.

Di sisi lain darah minang mengalir dalam sosok ayahku. Jiwanya yang keras sebagai mana dimiliki para perantau ulung suku minang lainnya, juga telah mewarnai karakterku. Maklum saja, ia dibesarkan dalam situasi sulit yang dihadapi keluarganya. Ia dan keluarga besarnya dihadapkan pada kerasnya atmosfir persaingan hidup di rantauan. Itulah sebabnya nasib ayahku tidak jauh berbeda dengan ibuku, ia hanya bisa merasakan bangku SMP dikarenakan kesulitan ekonomi yang keluarganya hadapi. Sebagai keluarga pendatang yang tinggal ditengah-tengah suatu masyarakat, mereka harus tetap menunjukan eksistensinya dengan cara apapun untuk bisa bertahan hidup. Kondisi ekonomi yang pas-pasan begitu pula keadaan pendidikan yang rendah tidak menghalangi mereka untuk menunjukan taringnya dalam ketatnya persaingan hidup saat itu. Kesan sangar, preman melekat pada keluarga ayahku. Di masa-masa sulit itu ia dan lima saudara laki-lakinya sudah terbiasa bergaul dalam dunia pergaulan bebas. Dengan demikian watak keras pun terbentuk dengan sendirinya. Tidak heran nada-nada tinggi biasa diucapkan oleh ia dan keluarga lainnya.

Namun, disisi lain nilai-nilai tanggung jawab dan tolong menolong sangat kental aku rasakan dalam keluarga ayahku. Kehidupan yang sulit telah menempa solidaritas mereka sebagai saudara. Sebagai contoh, kakek selalu mengajarkan anak-anaknya bahwa seorang kakak harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada adiknya tidak peduli apapun masalahnya. Bila seorang adik pulang ke rumah sambil menangis karena berkelahi, maka sang kakak lah yang menjadi bulan-bulanan kakek. Sang kakak tidak diijinkan pulang sebelum bertemu dengan orang yang telah membuat adiknya menangis. Nilai-nilai solidaritas semacam itu pula yang meraka terapkan dalam keluarga. Tidak heran kalau hubungan kakak-beradik diantara ayahku dan saudara-saudaranya yang lain sangat erat. Sampai-sampai aku menganggap paman dan bibiku sebagai orangtuaku sendiri. Seperti pribahasa yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, begitu pula dengan yang kualami bahwasanya banyak nilai-nilai, doktrin serta tempaan yang telah mereka wariskan kepadaku. Nilai-nilai solidaritas yang mereka pegang teguh dan jiwa yang tegar dalam menghadapi persoalan tertanam dalam diriku. Di sisi lain, melihat keadaan keluargaku yang masih jauh tertinggal dari segi pendidikan dalam hatiku muncul niatan untuk merperbaiki kualitas diri setidaknya lebih baik dari mereka. Mereka menjadi motivasiku untuk belajar lebih giat lagi. Kini aku sadar bahwa mereka lah keluarga besarku yang telah memberikan porsi yang cukup besar dalam membentuk karakterku.

Setelah keluarga, faktor lain yang mempengaruhi kehidupanku ialah lingkungan masyarakat dimana aku tinggal. Aku lahir dan tumbuh di lingkungan pedesaan di Jawa Barat yang masih jauh dari keramaian kota Karawang sebagai kabupatennya. Nama desaku ialah desa Sukasari, biasa juga disebut dengan desa Cengkong. Tidak tahu persis kenapa orang-orang memanggilnya demikian, namun yang Aku tahu disini masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong. Disini lah aku habiskan sebagian masa kecilku dengan teman-teman sebayaku. Aku masih sempat merasakan asyiknya permainan-permainan tradisional ala pedesaan.

Memang benar bahwa masa kecil seseorang memiliki andil besar dalam membentuk karakter seseorang. Aku dapat membayangkan dengan jelas suasana yang aku alami saat menghabiskan waktu bersama dengan teman-temanku. Belakangan baru aku sadari bahwa aku dan teman-teman sepermainanku dulu adalah salah satu generasi terakhir yang masih bisa menikmati asyiknya permainan traditional khas pedesaan. Saat aku pulang kampung tahun 2015 yang lalu, terlihat sekali arus moderenisasi sudah merambat kedunia anak-anak. Hari-hari mereka lalui dengan gadget dan hampir tidak pernah aku lihat anak-anak yang bermain sepertu yang kami lakukan dulu. Dari mulai permainan di sekitar halaman rumah sampai petualangan kecil yang kami lakukan di sawah,kebun, sungai dan tempat menarik ainnya di desaku bahkan sampai desa tetangga.

Desaku yang juga dikenal luas sebagai desa santri, mendorongku menjadi pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. hampir tidak pernah ku lalui petang hariku tanpa pergi mengaji ke pondok. Masyarakat disini semua berperan aktif dalam mengkontrol anak-anak dengan mendorong mereka untuk mengaji. Setiap mereka melihat anak-anak yang berkeliaran sehabis magribh dengan sendirinya mereka akan menyuruh anak tersebut pergi mengaji. Jadi, berkeliaran saat magribh merupakan hal yang memalukan bagiku dan anak-anak yang lain saat itu. Seperti tetesan air pada sebuah batu sedikit-demi sedikit akan mengikis batu tersebut, beitu pula denganku, segala pengalaman yang aku lalui selama berada di kampung halamanku ini tertanam dalam diriku sampai aku tumbuh dewasa.

Namun, tidak hanya desa ini yang menjadi bagian dari cerita hidupku, tempat lain yang menjadi lembaran kisah hidupku adalah Bali. Bali yang merupakan pulau eksotis dengan masyarakatnya yang ramah tidak disangka-sangka menjadi tempatku berlabuhku selanjutnya. Kepentingan keluarga lah yang mendesak kami untuk berpindah ke Bali untuk menyusul keluarga lainnya. Sampai saat ini, setengah usiaku sudah aku habiskan disini. Di waktu selama itu, banyak hal yang telah aku lalui dan pastinya sudah membekas di hatiku. Bali sudah membuka wawasanku sehingga aku bisa tahu banyak hal yang tidak pernah terpikirkan sama sekali saat aku tinggal di cengkong.

Tinggal dan berbaur bersama mereka telah mewarnai lembaran kisahku menjadi lebih indah dan beragam. Sebagai kaum pendatang kami dituntut untuk dapat menghargai kearifan lokal yang ada disini. Disini aku sadar tentang nilai-nilai toleransi dalam masyarakat yang multikultural. Sungguh merupakan karunia yang luar biasa bisa mempelajari budaya masyarakat bali yang banyak dikagumi orang ini. Menjalin hubungan persahabatan dengan warga disini terasa begitu mudah, sejauh yang aku temui warga disini tidak tertutup dengan orang pendatang. Sampai saat ini aku punya beberapa sahabat yang merupakan warga asli bali. Salah satunya bernama Kadek Widiadnya, kami sudah seperti keluarga saja. Aku sering berkunjung ke rumahnya dan setiap pulang pasti saja ada yang aku bawa pulang sebagai oleh-oleh dari keluarganya.

Selain keramahan warganya keindahan alam disini juga mengajariku banyak hal. Keindahan alam disini telah menarik hatiku untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Seakan membangkitkan jiwa petulangku kembali, setalah puas melakukan petualangan kecil di desaku, disini aku semakin dimanjakan dengan keindahan alamnya. Bisa dibilang tempat dimana kutinggal ini cukup strategis. Aku tinggal di desa Penyabangan, letaknya yag cukup jauh dari pusat keramaian semakin menambah kesan tradisional. Bentangan alam disini sangat memukau hatiku. Tempatku tinggal berdekatan dengan garis pantai dan secara bersamaan juga berdekatan dengan perbukitan. Tempat semacam ini tidak penah aku temui sebelumnya di desaku. Selama ini aku baru tahu yang namanya pantai itu hanya dari televisi, dan sekarang aku hanya tinggal berjalan kaki 10 menit saja sudah bisa berenang di pantai. Tidak heran, kalau selama seminggu pertama setiba di disini, aku habiskan soreku di pantai bermain-main sepuas hatiku sampai matahari tenggelam. Tinggal di Bali, aku bermetamorfosa menjadi perenang ulung. Aku berenang sampai jari-jari tangan ku keriput. Seminggu berlalu Kulitku pun gosong dan rambut menjadi lepek dibuatnya, hampir sama saat aku bermain di sawah ketika musim layangan tiba di kampung halamanku, bedanya rambutku tidak lepek.

Selain pantai, sejauh mata memandang garis perbukitan membentang di arah yang berlainan. Aku penasaran adakah jalan setapak yang menuju kearah sana. Setelah mendapatkan informasi ternyata ada jalan menuju kesana dan hanya pemburu dan warga sekitar saja yang mencari kayu bakar yang biasa melewati jalan setapak ke perbukitan itu. Namun berkat insting petualang yang aku miliki, dari sekian banyak perbukitan yang tersebar di setiap desa, hampir semuanya pernah aku kunjungi. Menakjubkan sekali pemandangan dari atas sana. Beberapa diantaranya memiliki mata air dan bahkan pernah kutemui air terjun di dalam hutannya. Belakangan aku baru tahu hutan itu bernama hutan renon. Semenjak tinggal di bali ini aku semakin mencintai keindahan alam suatu tempat dan ingin mengetahuinya lebih jauh lagi. Begitu halnya dengan budaya yang ada dalam suatu masyarakat tertentu yang belum pernah aku temui sebelumnya. Pada intinya, Bali telah membangkitkan insting petualang kecilku dulu yang mulai tumbuh saat tinggal di kampungku.Oleh karena itu kedua tempat entah itu kampung halamanku ataupun tempat tinggalku Bali, keduanya menjadi tempatku belajar banyak hal yang akhirnya membentuk kepribadianku sekarang

Pada akhirnya, aku sadar bahwa segala macam bentuk prilaku, sifat dan karakter yang tercermin dalam hidupku tidak terlepas dari latar belakang kehidupanku. Didikan, dan bimbingan dari kedua orang tuaku dan keluarga lainnya telah menjad dasar peganganku dalam bertindak. Pengalaman yang aku dapatkan selama hidup di dua lingkungan masyarakat yang berbeda juga telah banyak mengajarkanku pelajaran yang berharga.


    email this       edit

0 comments:

Post a Comment