Kondisi ex.pelabuhan Buleleng yang terus dilanda sampah. |
Aku sadari betul perkembangan zaman yang cepat, sedikit banyak akan mengeser semuanya. Desa tak akan se-tentram dan damai seperti yang aku rasakan sekarang. Nyatanya kini, derap langkah pembangunan telah merambat ke desa-desa. Salah satu contoh Persuhaan-perusahaan, hotel dan villa mulai tumbuh subur di setiap sudut desa. Sambil menghirup kopi, Aku pun mulai bertanya-tanya, akan seperti apakah desaku kelak? Apakah pembangunan ini semua akan berpihak pada kemaslahatan warga desa secara keseluruhan? Terlebih lagi yang terjadi di desa atau tempat lain secara luas, apakah pembangunan akan mampu memberikan manfaat yang merata bagi manusia dan lingkungan dimana mereka tinggal? Sudah cukup dewasa kah masyarakat dalam menghadapi imbas dari pembangunan itu sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan itu serta-merta muncul setelah sebelumnya aku teringat bahwa hari ini adalah tepat peringatan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April 2017. Berbicara soal Hari Bumi, berarti berbicara tentang keadaan Bumi kita saat ini. Sedikit serius bahasan kali ini ya? akibat dari kopi pekat tadi sepertinya hehe. bicara soal keadaan bumi tidak melulu tentang isu-isu yang saat ini hangat diperbincangkan seperti global warming, namun kita juga bisa melihatnya dari lingkup yang kecil. Kita bisa melihat dilingkungan sekitar kita sebagai cerminan kecil dari keadaan bumi kita saat ini. Di tempatku misalnya, betapa memprihatinkannya saat masyarakat di kabupaten Buleleng belum sepenuhnya sadar tentang peran fungsi sungai sebagai penyangga kehidupan. Buleleng dengan jumlah sebaran sungai yang cukup banyak harus rela kini sungai telah beralih fuingsi menjadi tempat sampah. Dari jarak 65 km dari rumahku ke kota singaraja saja terhitung ada hampir mencapai 100 aliran sungai. Ironisnya hampir disetiap jembatan dengan sungai dibawahnya penuh dengan tumpukan sampah pelastik. 100 bukan lah jumlah yang besar, karena kalian bisa dengan mudah menyebutkan tempat-tempat lain di lingkungan kalian yang memiliki masalah sampah yang sama. Bukan tanpa upaya, malah sudah banyak pihak yang telah berusaha menangani masalah ini, namun hasilnya masih saja nihil.
Aku jadi teringat dengan percakapan singkatku dengan seorang turis asing asal Hungaria yang bernama Ferow. Percapakan yang berlangsung di tengah perjalananku dari Lombok berlayar menuju Bali ini menjadi cambuk bagi ku. Bagaimana tidak, si bule ini menceritakan keluh-kesalnnya pada kita orang-orang pribumi yang dengan mudahnya membuang sampah kapanpun dan dimanapun tanpa mempeduikan dampak buruk yang mungkin saja terjadi. Muka ku memerah, kuping terasa panas, mendengar ocehan bule ini. Sambil menahan kekesalan ku karena kritikannya yang pedas, dengan sabar aku terus mendengarkannya sampai selesai. Akhirnya aku pun mengakui bahwasanya semua yang ia katakan memang benar adanya. Ia berbicara dengan bukti, laut yang penuh akan sampah plastik sepanjang perjalanan menjadi bukti. Yang lebih otentiknya lagi kami memergoki seorang anak muda yang dengan entengnnya melempar sisa botol minumannya ke laut sepersekian detik setelah ia habis meminumnya. Kami pun sepakat bahwa pada intinya masyarakat Indonesia belum dewasa dalam hal kesadaran akan lingkungan dan ditambah lagi peran pemerintahnya yan kurang menangani masalah ini.
Sudah jadi rahasia umum bahwa masalah sampah plastik ini menjadi masalah kita baik di daerah bahkan di tingkat nasional. Memutus mata rantai ketidakdewasaan ini seolah sangat sulit dilakukan. Papan peringatan, teguran dan himbauan, bahkan sangsi tidak bisa membengkokan hati mereka yang sudah “lempeng” dengan mental bobroknya itu. Peran pemerintah juga dirasa sangat terbatas hanya bisa membuat aturan tanpa melakukan pengawasan yang ketat. Fasilitas penanganan sampah juga seakan dikesampingkan, lupa bahwa hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Di tempatku tinggal, slogan-slogan seperti “Buleleng bebas sampah pelastik” dirasa belum cukup membersihkan Buleleng dari sampah plastik. Perda Kabupaten Buleleng No. 1 Tahun 2013 tentang “pengelolaan sampah” Juga belum cukup menggentarkan niat para pembuang sampah nakal.
Begitu kompleksnya masalah ini sampai harus memutar otak, memeras keringat untuk menyelesaikannya. Padahal hal ini sangat sepele bila dipikirkan dengan pola pikir sederhana, membuang sampah pada tempatnya tidak akan lebih susah dari mengenakan pakaian kita sendiri. Jika setiap orang bisa berpakaian rapi sudah semestinya mereka pun bisa membuang sampah pada tempatnya. Membuang sampah tak ada bedanya dengan memakai pakaian sebagai kebiasaan sehari-hari yang petut dibiasakan. Jadi, hanya orang yang tidak berpakaian sampai telanjang telanjang bulat (seperti halnya orang gila) saja yang bisa diberikan toleransi tidak membuang sampah pada tempatnya.
Membiasakan sesuatu menjadi sangat sulit bagi yang sudah memiliki kebiasaan yang kuat terpatri dalam dirinya. Akan sulit bagi para orang tua yang sudah punya kebiasaan buruk ini untuk dirubah. Sebaliknya, harapan masih terbuka untuk menanamkan kebiasaan baik pada para generasi muda. Maka solusi yang paling memungkinkan adalah mulai dari memberikan pendidikan kesadaran akan lingkungan sedini mungkin ditingkat keluarga maupun di pendidikan formal. Siapapun kalian entah itu orang tua, guru atau pun para generasi muda yang sadar akan pentingnya masalah ini, mari kita ajarkan kebiasaan baik pada anak-anak kita dalam hal berurusan dengan yang namanya sampah. Langkah-langkah berikut akan sangat ampuh bila diterapkan secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam memberikan pendidikan pada anak kita.
1. Sediakan Tempat Sampah
Anak-anak akan lebih mudah terbiasa membuang sampah jika tersedia temat sampah. Mereka akan mengingat dimana ia harus mencari tempat sampah dan membuang sampah yang ia punya.
2. Buang sampah pada tempatnya
Masa anak-anak adalah masa pembentukan kebiasaan yang terjadi di aktivitas sehari-hari. Ibarat kertas mereka adalah kertas kosong yang akan lebih baik jika diisi dengan kebiasaan baik seperti membuang sampah pada tempatnya. Ajak mereka untuk membuang samah mereka pada tematnya. Akan lebih mengena jika kita memberikan contoh langsung kepada mereka, seperti saat berkendara tidak membuang sampah seenaknya dijalan.
3. Kelola sampah dengn bijak
Tentu kalian sering mendengar istilah reuse, reduce, and recycle. Hal ini juga bisa kita ajarkan pada anak-anak kita dari hal-hal sederhana seperti menggunakan goody bag saat belanja, Tupperware untuk menyimpan minuman, dan membuat kerajinan sederhana dari sampah plastic.
4. Tegur bila melakukan kesalahan
Yang terakhiar adalah bagaimana pengawasan kita pada mereka karena menerapkan kebiasaan harus dilakukan secara berkelanjutan. Penting bagi mereka untuk mengetahui kesalahan mereka agar terpatri dalam benak mereka mana yang baik dan mana yang benar.
Demikian tulisanku untuk Hari Bumi, Semoga saja bia menginspirasi untuk bumi yang lestari. Kalau ada yang punya solusi lain yang lebih ampuh boleh dishare juga :) :D
22 April 2017
Di atas bangku depan rumah