Apr 23, 2017

Published 3:19 AM by with 0 comment

Hari Bumi : Saatnya Untuk Dewasa Menangani Sampah

Kondisi ex.pelabuhan Buleleng yang terus dilanda sampah.
Disaat bising suara motor perlahan mereda digantikan oleh senandung suara jangkrik yang silih bersautan, aku pun kembali menuangkan isi pikiranku dalam tulisan ini. Secangkir kopi dan sedikit gorengan buatan ibuku hadir menjadi penghangat suasana menemaniku arungi imaji. Indah sekali terasa hidup di sebuah desa yang cukup jauh dari hiruk-pikuk kota, tanpa polusi, (tanpa gadget juga tak masalah). Andaikan kalian pernah merasakan hidup di desa tentu kalian bisa membayangkan perasaanku saat ini... srrruputt (nikmat kuhirup kopiku)
     Aku sadari betul perkembangan zaman yang cepat, sedikit banyak akan mengeser semuanya. Desa tak akan se-tentram dan damai seperti yang aku rasakan sekarang. Nyatanya kini, derap langkah pembangunan telah merambat ke desa-desa. Salah satu contoh Persuhaan-perusahaan, hotel dan villa mulai tumbuh subur di setiap sudut desa. Sambil menghirup kopi, Aku pun mulai bertanya-tanya, akan seperti apakah desaku kelak? Apakah pembangunan ini semua akan berpihak pada kemaslahatan warga desa secara keseluruhan? Terlebih lagi yang terjadi di desa atau tempat lain secara luas, apakah pembangunan akan mampu memberikan manfaat yang merata bagi manusia dan lingkungan dimana mereka tinggal? Sudah cukup dewasa kah masyarakat dalam menghadapi imbas dari pembangunan itu sendiri?
     Pertanyaan-pertanyaan itu serta-merta muncul setelah sebelumnya aku teringat bahwa hari ini adalah tepat peringatan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April 2017. Berbicara soal Hari Bumi, berarti berbicara tentang keadaan Bumi kita saat ini. Sedikit serius bahasan kali ini ya? akibat dari kopi pekat tadi sepertinya hehe. bicara soal keadaan bumi tidak melulu tentang isu-isu yang saat ini hangat diperbincangkan seperti global warming, namun kita juga bisa melihatnya dari lingkup yang kecil. Kita bisa melihat dilingkungan sekitar kita sebagai cerminan kecil dari keadaan bumi kita saat ini. Di tempatku misalnya, betapa memprihatinkannya saat masyarakat di kabupaten Buleleng belum sepenuhnya sadar tentang peran fungsi sungai sebagai penyangga kehidupan. Buleleng dengan jumlah sebaran sungai yang cukup banyak harus rela kini sungai telah beralih fuingsi menjadi tempat sampah. Dari jarak 65 km dari rumahku ke kota singaraja saja terhitung ada hampir mencapai 100 aliran sungai. Ironisnya hampir disetiap jembatan dengan sungai dibawahnya penuh dengan tumpukan sampah pelastik. 100 bukan lah jumlah yang besar, karena kalian bisa dengan mudah menyebutkan tempat-tempat lain di lingkungan kalian yang memiliki masalah sampah yang sama. Bukan tanpa upaya, malah sudah banyak pihak yang  telah berusaha menangani masalah ini, namun hasilnya masih saja nihil.
     Aku jadi teringat dengan percakapan singkatku dengan seorang turis asing asal Hungaria yang bernama Ferow. Percapakan yang berlangsung di tengah perjalananku dari Lombok berlayar menuju Bali ini menjadi cambuk bagi ku. Bagaimana tidak, si bule ini menceritakan keluh-kesalnnya pada kita orang-orang pribumi yang dengan mudahnya membuang sampah kapanpun dan dimanapun tanpa mempeduikan dampak buruk yang mungkin saja terjadi. Muka ku memerah, kuping terasa panas, mendengar ocehan bule ini. Sambil menahan kekesalan ku karena kritikannya yang pedas, dengan sabar aku terus mendengarkannya sampai selesai. Akhirnya aku pun mengakui bahwasanya semua yang ia katakan memang benar adanya. Ia berbicara dengan bukti, laut yang penuh akan sampah plastik sepanjang perjalanan menjadi bukti. Yang lebih otentiknya lagi kami memergoki seorang anak muda yang dengan entengnnya melempar sisa botol minumannya ke laut sepersekian detik setelah ia habis meminumnya. Kami pun sepakat bahwa pada intinya masyarakat Indonesia belum dewasa dalam hal kesadaran akan lingkungan dan ditambah lagi peran pemerintahnya yan kurang menangani masalah ini.
      Sudah jadi rahasia umum bahwa masalah sampah plastik ini menjadi masalah kita baik di daerah bahkan di tingkat nasional. Memutus mata rantai ketidakdewasaan ini seolah sangat sulit dilakukan. Papan peringatan, teguran dan himbauan, bahkan sangsi tidak bisa membengkokan hati mereka yang sudah “lempeng” dengan mental bobroknya itu. Peran pemerintah juga dirasa sangat terbatas hanya bisa membuat aturan tanpa melakukan pengawasan yang ketat. Fasilitas penanganan sampah juga seakan dikesampingkan, lupa bahwa hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Di tempatku tinggal, slogan-slogan seperti “Buleleng bebas sampah pelastik” dirasa belum cukup membersihkan Buleleng dari sampah plastik. Perda Kabupaten Buleleng No. 1 Tahun 2013 tentang “pengelolaan sampah” Juga belum cukup menggentarkan niat para pembuang sampah nakal.
    Begitu kompleksnya masalah ini sampai harus memutar otak, memeras keringat untuk menyelesaikannya. Padahal hal ini sangat sepele bila dipikirkan dengan pola pikir sederhana, membuang sampah pada tempatnya tidak akan lebih susah dari mengenakan pakaian kita sendiri. Jika setiap orang bisa berpakaian rapi sudah semestinya mereka pun bisa membuang sampah pada tempatnya. Membuang sampah tak ada bedanya dengan memakai pakaian sebagai kebiasaan sehari-hari yang petut dibiasakan. Jadi, hanya orang yang tidak berpakaian sampai telanjang  telanjang bulat (seperti halnya orang gila) saja yang bisa diberikan toleransi tidak membuang sampah pada tempatnya.
     Membiasakan sesuatu menjadi sangat sulit bagi yang sudah memiliki kebiasaan yang kuat terpatri dalam dirinya. Akan sulit bagi para orang tua yang sudah punya kebiasaan buruk ini untuk dirubah. Sebaliknya, harapan masih terbuka untuk menanamkan kebiasaan baik pada para generasi muda. Maka solusi yang paling memungkinkan adalah mulai dari memberikan pendidikan kesadaran akan lingkungan sedini mungkin ditingkat keluarga maupun di pendidikan formal. Siapapun kalian entah itu orang tua, guru atau pun para generasi muda yang sadar akan pentingnya masalah ini, mari kita ajarkan kebiasaan baik pada anak-anak kita dalam hal berurusan dengan yang namanya sampah. Langkah-langkah berikut akan sangat ampuh bila diterapkan secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam memberikan pendidikan pada anak kita.
1.    Sediakan Tempat Sampah
Anak-anak akan lebih mudah terbiasa membuang sampah jika tersedia temat sampah. Mereka akan mengingat dimana ia harus mencari tempat sampah dan membuang sampah yang ia punya.
2.    Buang sampah pada tempatnya
Masa anak-anak adalah masa pembentukan kebiasaan yang terjadi di aktivitas sehari-hari. Ibarat kertas mereka adalah kertas kosong yang akan lebih baik jika diisi dengan kebiasaan baik seperti membuang sampah pada tempatnya. Ajak mereka untuk membuang samah mereka pada tematnya. Akan lebih mengena jika kita memberikan contoh langsung kepada mereka, seperti saat berkendara tidak membuang sampah seenaknya dijalan.
3.    Kelola sampah dengn bijak
Tentu kalian sering mendengar istilah reuse, reduce, and recycle. Hal ini juga bisa kita ajarkan pada anak-anak kita dari hal-hal sederhana seperti menggunakan goody bag  saat belanja, Tupperware untuk menyimpan minuman, dan membuat kerajinan sederhana dari sampah plastic. 
4.    Tegur bila melakukan kesalahan
Yang terakhiar adalah bagaimana pengawasan kita pada mereka karena menerapkan kebiasaan harus dilakukan secara berkelanjutan. Penting bagi mereka untuk mengetahui kesalahan mereka agar terpatri dalam benak mereka mana yang baik dan mana yang benar. 
Demikian tulisanku untuk Hari Bumi, Semoga saja bia menginspirasi untuk bumi yang lestari. Kalau ada yang punya solusi lain yang lebih ampuh boleh dishare juga :)  :D


22 April 2017
Di atas bangku depan rumah
Read More
    email this       edit

Apr 12, 2017

Published 11:08 PM by with 0 comment

Aku dan PPT (Para Pencari Toga)

        Sudah mengakar rasanya pantatku di lantai teras ini, kalau dihitung seberapa lamanya aku duduk di sini. Sudah memperihatinkan keadaan kedua bola mataku, yang tak kunjung aku istirahatkan untuk terus memandangi layar laptop usangku. Sudah hampir kekar tanganku pula ini bila ditimbang berapa banyak kata dan kalimat yang aku tulis berhalaman-halaman. Namun, seberapa banyak pun juga kata-kata tersebut rasa-rasanya tidak ada lagi yang bisa menggambarkan betapa bosannya aku sekarang. Kalau saja ada kata yang memiliki makna melebihi dari makna kata bosan atau muak, bisa jadi begitulah perasaanku saat ini. Ya, aku sudah sangat bosan menjalani rutinitas sebagai mahasiswa tingkat akhir dengan tumpukan tugas berupa proposal, instrument dan sekutu-sekutunya. Di teras depan sekretaiat UKM, di tengah hiruk-pikuk kehidupan para manusia pencari toga inilah aku habiskan waktu untuk bergulat dengan semua tugas itu. Dari mulai hari masih terang, perlahan berganti gelap, dan sampai hari kembali terang aku masih disini. Tampak terlihat raut-raut muka bosan dari orang-orang yang datang dan pergi, mungkin mereka bosan melihat sesosok mahasiswa ‘tua’ yang tidak mengenal waktu.
        Dari phenomena mahasiswa tua ini, aku berpikiran bahwa "Waktu" memang sangat cepat berlalu. Tidak terasa begitu lamanya aku duduk disini. Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku baru menyalakan laptop usang ini, nyatanya sudah hampir 2 hari pantatku bercokol mantap diatas singgasana ini. Aku yakin tidak sedikit yang pernah merasakan betapa singkatnya waktu seperti yang kualami sekarang. Sering juga aku temui orang entah itu kawan sejawat ataupun para orang tua yang sering mengungkapkan kepada ku betapa singkatnya waktu telah berlalu. Aku ingat ada seorang ibu-ibu seumuran nenekku, Aku biasa memanggilnya Bi Dedeh. Setelah sekian tahun lamanya tak bertemu, betapa kagetnya ia dengan keadaanku saat aku temui ia pada kesempatan mudik kala itu. “Subhanallah, eleuh-eleuh... kamu teh bener si wahab cucunya aki mansyur? Udah besar kamu ya… tinggi sekali euy, sepertinya teh baru kemarin kamu saya gendong-gendong” ungkapnya penuh dengan keheranan. “Terus sekarang mau gendong saya lagi Bi ?” candaku, disambut dengan gelak tawa.
        Teringat akan kejadian itu, aku pun semakin merasa singkatnya waktu yang aku lewati dalam kehidupan pribadiku. Aku teringat masa-masa dimana bermain masih memenuhi hari-hariku kala itu. Di sebuah kampung kecil jauh dari hiruk-pikuk kota tepatnya. Aku masih ingat betul suasana panen raya disana, bagaimana gatalnya bermain diatas tumpukan jerami, tajamnya sisa-sisa tanaman padi di lahan sawah kering yang kami jadikan lapangan bola, atau lezatnya belalang goreng yang aku tangkap, olah, dan santap sendiri. Perasaan senang nikmat dan bahagianya masih teringat betul seolah baru saja terjadi beberapa hari yang lalu. Oleh karenanya, tidak heran kalau Bi Dedeh tadi sampai mengekspresikan keheranannya seheboh itu.
        Aku kemudian berakhir pada kesimpulan bahwasanya memang benar adanya, waktu berlalu begitu singkat. Kesimpulan pun berujung pada kesadaran bahwa betapa singkatnya usia hidup rata-rata seorang manusia bila dibandingkan dengan waktu yang sudah dan terus akan berjalan. Kisahku dan Bi Dedeh tadi adalah contoh kecil yang menunjukan betapa singkat dan berharganya waktu yang kita miliki. Kini aku sadar banyak hal telah Aku lalui. Mimpi-mimpi yang tidak terwujud, yang sudah terwujud atau pun semuanya telah aku lalui tanpa disadari. Aku yang rasanya baru beberapa hari yang lalu, tidak lebih hanya seorang bocah ingusan kini telah beranjak dewasa. Lebih jauh lagi, masa- masa OKK (orientasi kehidupan kampus) yang rasanya baru kemarin aku lalui, kini aku disibukan dengan tanggung jawab sebagai mahasiswa akhir dan bersiap untuk lulus sebagai seorang sarjana (amin). Bersyukur semua berjalan lancar dan cepat pikirku. Impianku dulu pun akan segera terwujud dan Aku harus siap untuk beralih dengan impian-impianku yang baru telah aku rangkai. Impian yang menjadikan aku semangat menjalani hidup yang singkat ini.
        Tidak terasa hari semakin terang saja, suara motor para pejuang toga kembali meramaikan suasana kampus, dan aku pun harus segera bersiap untuk pergi ke sekolah untuk mengajar mengingat aku mahis harus menyelesaikan PPL-REAL. Aku pun harus mencukupkan dulu dengan skripsinya, aku akan lanjutkan lagi nanti. Begitu pula dengan tulisan ini, aku sudahi dulu dan sampai jumpa lagi di lain WAKTU.





13 April 2017
Di  teras depan Sekretariat MPA LS
Read More
    email this       edit