Jul 19, 2016

Published 11:54 AM by with 0 comment

Gunung Batur : Sebuah Awal Petualangan Kecilku

Seperti halnya sebuah pondasi yang akan menentukan kokoh tidaknya sebuah bangunan, langkah awal adalah hal yang menentukan keberhasilan sebuah rencana. Setiap orang pasti akan berbuat yang terbaik untuk mengawali setiap langkahnya hingga mencapai kesuksesan. Apalagi, hal tersebut berkaitan dengan target besar yang menentukan masa depan seseorang. Demikian halnya denganku, aku akan memberikan usaha terbaiku dalam setiap awal perjalanan hidupku. Seperti yang aku alami saat pendakian gunung pertamaku di Gunung Batur pada awal tahun 2014 lalu. Pendakian ini Menjadi sangat penting bagiku. Pendakian ini menjadi pondasi yang mendasari kokohnya petualangan ku kelak. Pendakian ini menjadi awal petualanganku menggapai puncak-punak tertinggi tanah Indonesia lainnya. Setiap pengalaman, pelajaran dan nilai moral yang aku peroleh dari langkah awalku ini akan terpatri dalam benakku. Banyak kenangan yang membekas dalam langkah awal petualangan ku ini, dari mulai susahnya melakukan persiapan, suka duka yang aku alami di perjalanan, dan manisnya kesuksesan mencapai puncak.

Satu kata yang bisa mewakili perasaanku saat mengetahui rencana pendakian ini adalah “Bergairah”. Tidak berlebihan jika diingat-ingat apa yang terjadi saat itu. Meski Batur bukanlah gunung yang memiliki tingkat kesulitan yang “wah”, tapi persiapan yang kami lakukan kala itu saat itu sangatlah “wah”. Seminggu sebelumnya kami menjadwalkan latihan fisik yang ketat. Tidak cukup hanya mempersiapkan fisik, informasi tetek bengek tentang gunung pun tidak lepas dari perhatian kami. Artikel tentang jalur pendakian gunung batur dan informasi lainnya memenuhi riwayat pencarian di laptop kami. Tidak bosan-bosannya kami juga mengintrogasi setiap orang yang pernah mendaki gunung purba ini (sebaliknya, mereka mungkin sudah sangat bosan menanggapi setiap pertanyaan kami kala itu). Terkesan sepele memang, tapi bagi kami yang masih amatir informasi itu sangat berharga saat itu.

Dari awal kami sudah dicekoki dengan doktrin bahwa pendakian ini merupakan sebuah pembelajaran dalam me-manage sebuah perjalanan. Rumitnya administrasi tentang, perijinan dan pemberitahuan pun dengan berat hati kami harus jalani. Kalian yang sudah khatam dengan pendakian ke gunung batur mungkin akan mentertawai persiapan kami saat itu. Namun, seperti yang aku sampaikan di awal, perjalanan ini adalah lembaran awal yang akan menjadi pengantar ke perjalanan lainnya. Walau sempat rasa pesimis menggoyahkan semangat kami yang menggebu-gebu di awal, pada akhirnya semua berhasil kami lewati dengan baik. Kami pun sampai pada hari dimana kaki ini benar-benar menjejakkan langkah pertamanya di Gunung Batur.


Penampilan kami jika dinilai oleh ahli fashion gunung, mungkin hanya mendapat point enam. Ada yan berpenampilan layaknya petugas dinas kehutanan yang sedang berpatroli, dan bahkan ada pula yang dengan bangganya memakai seragam ala ibu pejabat pemkab yang sedang mengahdiri acara jalan santai. Kemudian, yang lainya dengan percaya diri dengan kostum ‘anak punk’nya, dan sisanya mengenakan pakaian khas anak alay (maklum kebanyakan dari kami baru lulus SMA). Tapi tenang saja, dengan persiapan yang matang dan dengan barang bawaan yang tersusun rapi di dalam tas, kami siap mengawali petualangan kami ini.

Ini merupakan perjalanan awal kami sebagai tim. Kami merasa kesulitan untuk menjalin kekompakan sebagai tim yang solid. Memang penyesuaian membutuhkan proses yang memakan waktu lama. Untuk awal susah sekali mencairkan suasana di perjalanan. Sesekali candaan yang dilontarkan tidak ubahnya seperti kerupuk terasa renyah didengar. Sepanjang perjalanan, tidak jarang kami lalui hanya dengan diam tanpa bersuara. Jaga image, itu la yang menghambat kami dalam mengakrabkan suasana. Untuk sekedar kentut pun kami masih pikir-pikir. Pantang rasanya untuk kentut dengan merdeka di depan teman yang lain. Kalau menurutku sih salah satu tolak ukur keakraban suatu pertemanan mereka bisa dengan bahagia, tertawa bersama untuk hal kecil contohnya kentut. Hal sederhana seperti itu saja sulit kami lakukan. Padahal kekompakan adalah modal utama untuk melalui perjalanan di alam bebas.

Ego adalah musuh utama kami saat itu. Setiap anggota tim semestinya mampu menahan egonya masing-masing. Pengalamanku pribadi adalah contoh lainnya. Dengan alasan yang kurang bisa ku terima, aku ditunjuk sebagai tim sweeper. Walaupun memang badanku yang paling tinggi, tapi aku rasa aku tidak sekuat yang mereka bayangkan. Tapi aku terima saja amanah itu dengan berat hati. Sepengetahuanku, orang yang paling kuatlah yang cocok menjadi sweeper. Tim sweeper atau juga bisa disebut dengan penyapu biasanya berada diurutan belakang menjaga tim lainya yang berjalan di depan. Sesekali ia harus rela menunggu temannya yang kelelahan. Ibarat sebuah mesin, seorang sweeper harus rela berkali-kali memanaskan mesinnya. Badannya yang sudah mulai panas untuk berjalan jauh, harus kembali dingin dan perlu waktu lagi untuk memanaskannya. Hal ini lah yang membuat sweeper memerlukan tenaga ekstra. Sampai setengah perjalanan, dari mulai keringat panas sampai keringat dingin mulai bercucuran. Tenagaku pun semakin terkuras habis, begitu pula dengan kesabaranku. Betapa tidak, sampai dongkol berkali-kali aku harus menunggu teman-teman didepanku yang kecapaian. Dua kali lipat tenagaku habis untuk menunggu mereka. Ditambah lagi aku harus berpura-pura menjadi pahlawan mereka yang terus memberikan kata-kata penyemangat. Batur yang bagi para pendaki ulung bisa 4 kali bulak-balik dalam sehari, bagiku bisa sampai puncak dengan selamat saja sudah untung saat itu. Keringatku tidak hanya puas dengan membasahi bajuku tapi ia sampai menembus sampai lapisan jaket terluarku. Dari sana aku mendapatkan pelajaran gunung pertamaku bahwa ‘Sebisa mungkin kamu terlihat lemah dimata temanmu sesaat sebelum melakukan pendakian’.

Selain beban menjadi seorang sweeper, ada hal lain yang sedikit mengganjal pikiranku dan teman lainnya selama perjalanan menuju puncak. Ada yang kurang rasanya dalam dalam perjalanan kali ini. Jelas sekali karena anggota tim berkurang dua orang. Mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai di puncak, karena mereka menstruasi. Adat disana tidak memperkenankan pendaki yang sedang menstruasi untuk mendaki sampai ke puncak. Terlihat dari raut wajahnya, mereka kecewa karena tidak bisa menyertai kami sampai ke puncak. Kala itu sempat berpikiran untuk tetap memaksakan mereka untuk ikut. Namun dengan alasan yang aku belum bisa terima saat itu, Rekan-rekan senior yang mendampingi tidak sepaham dengan ku dan tetap tidak memperbolehkan mereka ikut serta. Akhirnya, dengan berat hati kami lanjuut kan perjalanan tanpa mereka. Belakangan aku baru sadar, bahwasannya ada maksud lain dari aturan adat tersebut. selain menjaga kesucian gunung batur yang dianggap suci oleh warga, aturan ini juga bermaksud untuk menjaga keselamatan pendaki. Secara ilmiah dapat di engerti bahwa seseorang yang sedang mengalami menstruasi secara otomatis daya tahan tubuhnya aka berkurang drastis. Untuk sekelas pendaki amatir seperti kami, sangat besar resikonya bila terus memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan dengan kondisi seperti itu. perlu jam terbang yang tinggiuntuk mengatasi resiko yang mungkin akan dihadapi. Dari situ kami belajar lagi satu hal, bahwa dalam mendaki gunung meraih uncak bukanlah hal utama dan segalanya. Lebih jauh lagi, yang harusmenjadi prioritas utama dalam mendaki gunung adalah pulang dengan selamat. Tentu merupakan kekonyolan yang nyata memaksakan untuk bisa meraih puncak, namun tidak bisa pulang dengan selamat.

Akhirnya Kita sampai di puncak dan pulang dengan selamat. Gunung pertamaku pun akhirnya dapat kuraih sebagai awal dari petualanganku yang lainnya. Meski, awalnya sempat dihadapkan pada situasi yang sulit dari mulai persiapan sampai pelaksanaannya, pada akhirnya semua dapat terlewati. Bersyukur bisa turun kemballi dan bertemu dengan teman-temanku yang menunggu di bawah. Setelah melihat mereka, perasaan hampa pun berubah. Disanalah kami merasa lengkap kembali. Setelah pendakian itu kami merasakan, hubungan kami menjadi lebih akrab lagi. Mulai saat itu, pondasi awalku untuk melanjutkan petualang selanjutnya telah dibangun kokoh berkat pengalaman berharga yang aku alami selama pendakian tersebut.
    email this       edit

0 comments:

Post a Comment