Sep 15, 2016

Published 11:43 AM by with 0 comment

Di Desa

Di desa mereka pergi bekerja
Di desa mereka bisa tertawa
Menari, bernyanyi sesuka hati

Bersama mereka ku belajar
Indah terasa seni dan budaya
Bersamanya nikmat terasa cinta kasih sesama manusia

Terima kasih Buwit, desaku
Terima kasih Buwit, temanku.

Buwit, Juli 2016
Read More
    email this       edit
Published 7:58 AM by with 0 comment

Subuh itu...

Perjalanan subuh itu menjadi perjalanan paling emosional bagiku. Tak kuat rasanya aku meninggalkan ia yang tak berdaya seorang diri. Kenapa ini harus terjadi ? Disaat senyumnya mulai terlihat kembali menghias wajah keriputnya. Senyum bahagia melihat cucunya yang lama menghilang. Bahagia karena harinya kini tak lagi sepi. Namun, kebahagiaannya hanya sesaat, kini ia kembali sendiri tak berdaya dengan penyakitnya. Maafkanku, Aku harus kembali pergi.

Sungguh perjalanan subuh itu menjadi perjalanan paling menyayat hatiku. Habis rasanya persediaan air mataku ini dalam perjalanan singkat cengkong-jakarta ini. Kesedihan nampak jelas di wajahnya tak dapat ia sembunyikan dariku. Tak banyak kata perpisahan yg terucap. Ia hanya berpesan "hati-hati di jalan nya Jang". Baginya kata perpisahan hanya akan menambah lukanya. Selintas ia mencoba untuk tersenyum, namun yang terlihat hanya senyum pilu. Maafkan aku. Aku harus kembali pergi.

Perjalanan subuh itu telah membuatku menjadi mahkluk paling melankolis saat itu. Sedetik ingatan tentangnya, sejurus tangisan menyertai.
Paman dengan sangat perlahan mengendarai motor, merayap dengan pasti mengantarku meninggalkan desa. Seakan tahu bahwa sebagian hatiku masih tertinggal di desa ini. sepertinya ia tahu aku masih ingin berlama-lama disini.

Ya Tuhan 1 doaku, kumohon kuatkanlah hambaMu ini.

Kuatkan jiwa dan raganya dalam melawan penyakitnya.
Serta kuatkan lah kami agar ikhlas menerima keadaan.

Kereta Karanwang-Jakarta, 8 September 2016
Read More
    email this       edit
Published 7:46 AM by with 0 comment

Pantai yang tak lagi santai


Kembali aku disini, dipantai ini. Tidak ada niatan lain kecuali ingin bersantai sejenak. Irama deburan dan buih ombak yang menghantam karang, lalu merayap pelan di pasir sungguh menjadi semacam terapi yang mengobati lelah. Hembusan angin sepoi-sepoi dan suara burung camar membuatku semakin betah berlama-lama disini. "Santai kayak di pantai" pikirku.
"Oh anak pantai... hidup santai.." itulah sepenggal lagu dari imanez yang menggambarkan kehidupan di pinggir pantai. Lagu yg pas aku kira untuk kehidupanku yang tinggal tak jauh dari pantai.
Tak lama kemudian aku dengar seorang pria bertubuh besar dengan seragam kebanggaannya lewat di belakangku dan berseru "santai dulu lah" sambil tersenyum. Ramah sekali orang ini pikirku. Segera aku tersadar ia adalah satpam vila tempat dimana aku bersantai sore ini.
Ya, kini di desaku khususnya di pantai penyabangan, vila dan hotel sudah seperti panu yang menempel di pantat. Terasa enak bila di garuk dan tanpa disadari semakin banyak dan sulit diobati. Untungnya aku tidak punya panu.
Teringat 10 tahun yang lalu, di pantai ini orang-orang ramai berdatangan membawa keluarganya. Terlihat ibu-ibu (termasuk ibuku) berbaris rapih menyapu kerang, remis dan penyon (makanan laut khas pesisir pantai). Lain halnya bapak-bapak yang membentuk barisan, barisan pemancing bersiap dengan alat pancing dan umpannya. Sedangkan kami anak-anak tidak mau kalah, kami mandi dan bermain pasir sesuka hati kami, sampai jari-jari kami keriput dibuatnya.

yatanya sekarang tidak lagi demikian. Lagu imanes rasanya sudah kadaluarsa untuk pantai kami. Semua sudah berkembang pesat. Orang yang hanya bersantai-santai akan jauh tertinggal. Sering kudengar keluhan dari temanku yang di usir saat memancing oleh satpam, dengan dalih demi keamanan tamu. Para pemburu kerang, remis, dan penyon pun tak tau kemana. Yang tersisa hanya anak anak yang masih setia mandi di pantai walaupun sienya tak sejernih dulu. Secara mereka mandi dekat dengan pembuangan hotel dan vila.

10 September 2016

Read More
    email this       edit
Published 6:58 AM by with 0 comment

Senandung Rindu


Sampai kapan harus menunggu ?
Sampai karang habis diterjang ombak..
Sampai cahayanya lenyap ditelan malam...

Dimana aku harus mencari engkau rinduku ?
Diujung laut itu.. tak sampai mataku mencarinya
Dipuncak gunung itu.. tak kuat kaki ini melangkah

Sayang, kemana kah kau berlalu?
Mentari yang pulang, mungkin kah kau tahu kemana rimbanya
Burung-burung camar bawalah rinduku terbang bersamamu

Taukah kau ? Rinduku dalam sedalam palung di samudra
Taukah kau ? Jiwaku setia memanggil namamu
Taukah kau sayang ? Sepi rasanya senja kini tanpamu

Pantai misteri, 18 Juli 2016
Read More
    email this       edit