Dec 31, 2016

Published 9:42 AM by with 0 comment

Menunggumu

Menunggu itu melelahkan...
Aku pernah menunggu datangnya kereta
Kupandangi rel nya sampai tak kulihat lagi ujungnya, muak sekali rasanya
Aku pun pernah putus asa menanti kapankah sampai di puncak,
Pijakan kaki bagai sesosok monster yang mengerikan untuk kutapaki,

Tapi menunggumu menjadi hal yang berbeda,
Aku rela menunggu untukmu,
Kunikmati setiap menit bahkan detiknya,
Meski aku belum tahu pasti sampai kapan dan seperti apa akhirnya,
Namun yang aku tahu pasti aku kan sedia menunggumu,

3 Desember 2016
Puncak Lesung 1865 MDPL
Abd Whb

Read More
    email this       edit

Dec 19, 2016

Published 9:54 AM by with 0 comment

Aku, Gunung Agung, dan Jengkol

Akhir pekan ini, aku menyempatkan untuk pulang ke rumahku di desa untuk sekedar melepas rindu dengan keluarga, khususnya ibuku yang baru pulang benjenguk nenek yang sakit di kampung halaman, Karawang. kepulangannya membawa angin segar bagiku. Seharian ini siang dan malam aku dimanjakan dengan oleh-oleh makanan khas sunda, Jengkol yang dibawakan ibuku dari sana. Ibuku memasaknya spesial untukku yang sudah lama tidak mencicipinya, mengingat makanan ini jarang ada di sini. Mungkin lidah sunda yang kupunya yang membuat tidak ada kata bosan saat aku memakan jengkol. Pola makanku yang sudah tak teratur menjadi semakin tak teratur saat bertemu jengkol, hahaha. Tidak terhitung sudah berapa kali aku bolak-balik ke dapur untuk makan, tak terhitung pula keping jengkol yang aku lahap dengan olahan yang berbeda-beda. Hal ini akan terdengar aneh bagi sebagian orang yang tidak suka jengkol, khususnya teman-temanku di Bali. Lidah mereka tidak terbiasa dengan makanan beraroma menyengat ini. Tapi aku tidak peduli, mataku menjadi gelap seketika melihat semua masakan jengkol ini di rak makan. Yang aku tahu adalah seharian ini aku tidak akan pernah bosan dengan jengkol.

Kisahku dan jengkol hari ini, membuatku berpikir sejenak bahwa betapa aku sering melakukan hal yang sama berulang kali tanpa merasa bosan. Aku penasaran apakah orang lain pun pernah melakukan hal yang sama berulang-ulang kali tanpa ada rasa bosan hinggap dan sebaliknya malah mendapatkan kepuasan tersendiri? Kalau pernah, mungkin itu yang dinamakan dengan hobi. Aku yang duduk di lantai dapur sambil mengelus-elus perutku yang terisi penuh dengan si jengkol ini lalu teringat akan salah satu hobiku yang tak kalah aneh dengan jengkol tadi. Mendaki gunung, kegiatan ini telah menjadi hobiku sejak aku kuliah di UNDIKSHA dan bergabung dengan Mapala Loka samgraha, klub pecinta alam disana.

Seperti kisahku dan jengkol, tidak ada kata bosan bagiku untuk mendaki gunung. Hobiku ini telah menjadi candu bagiku. Setiap libur panjang, libur semester, atau hanya libur akhir pekan selalu aku sempatkan untuk mendaki. Meski belum begitu banyak pengalamanku dalam mendaki gununga, tapi pernah aku alami berbagai pengalaman unik dalam mendaki. Pernah aku mendaki 5 kali dalam kurun waktu 1 bulan tanpa rasa bosan dan lelah. Pernah pula aku mendaki gunung yang sama sebanyak 3 kali, gunung itu adalah Gunung Agung. Memang belum seberapa sih hehe, tapi buat orang orang disekitarku yang tidak pernah naik gunung selalu bertanya-tanya apa aku tidak bosan. Bosan ? aku rasa tidak, karena aku yakin dan memang demikian bahwa meski di gunung yang sama pasti kita akan mendapatkan suasana yang berbeda tak peduli berapa kali aku mendakinya. Coba mengutip perkataan soerang forest gump di filmnya yang mendeskripsikan tentang kehidupan “life was like a box of chocolates, you never know what you're gonna get” aku pun berpikiran bahwa gunung pun demikian adanya. Setiap aku mendaki past saja ada sensasi baru yang aku dapat, entah itu pemandangan, nilai moral, hal yang mengharukan, atau bahkan hal konyol yang akan terus mengundang tawa bila diceritakan. Gunung Agung yang bisa meyakinkan aku untuk berpikiran demikian. Meski baru 3 kali aku sampai di puncaknya, tapi kenangannya tidak akan habis diceritakan kawan. Di mulai dari upayaku yang terus gagal untuk mendakinya saat berbagai macam halangan yang datang, sampai akhirnya bisa berdiri di puncak tertingginya. 
Aku di jempol kaki Gunung Agung
Semua bermula pada tanggal 26 oktober 2014 saat itu aku diundang untuk hadir dalam acara pendidikan dasar sispala di Kubu, Karangasem. Tempatnya yang strategis berhadapan langsung dengan gunung yang satu ini kalau aku bilang sebagai jempolnya Gunung Agung. Megahnya puncak tertinggi Bali ini membuatku berpikir untuk mendaki gunung ini, namun masalahnya aku masih ragu dengan kemampuanku untuk berdiri disana. Sampai dimana aku merasa sanggup pun, impian itu belum juga terwujud. Kemudian, rencana awalku untuk mendaki Gunung Agung  pada tanggal 15 november 2016 sebulan kemudian pun berakhir gagal, karena ada persembahyangan.
Wajah lesu kami di Polsek Selat akibat gagal naik Gunung Agung
Pengalaman konyol itu  sepertinya buah dari kesombonganku yang akhirnya juga berangkat untuk mendaki Gunung Agung. Aku dengan sombongnya menggoda salah seorang ibu penjual jagung bakar di pinggar jalan. Bagaimana mungkin teriakannya dalam menjajakan jagung bakar aku jadikan bahan olok-olokan. “Jagung…. jagung… jagung…” teriakannya memanggil pembeli aku jawab seenaknya “iya bu saya mau ke agung” teman-temanku pun mentertawaiku. Akhirnya kami kualat dan gagal mendaki. Maafkan aku ibu penjual jagung.
Tanggal 1 Januari 2015 di Gunung Agung

Rupanya Tuhan berkehendak lain aku akhirnya bisa mendaki Gunung Agung untuk pertama disaat yang sepesial di malam pergantian tahun baru 2015. Dari atas aku menyaksikan langsung pesta kembang api di sebagian luas wilayah Bali. Luar biasa pkirku saat itu.  Sayang tidak ada kamera bagus yang bisa menagkap moment itu, tapi tidak dengan mataku yang merekam moment langka ini. Suasana indah awan yang bertebaran di bawah kami juga melengkapi pendakian saat itu.


Lain halnya dengan pendakian kuyang kedua, waktu itu aku mengantarkan kawan-kawan Mapala Garba Wira Bhuana yang sedang melakukan ekspedisi. Kami mengantarkan mereka ke Batur an Agung sekaligus. Walaupun diguyur hujan terus-menerus, banyak moment indah yang aku dapat.  Sunset yang cantik, saat kami memutuskan untuk bermalam di Telaga Emas.
Candid sambil menikmati sunset
Pengalaman unik dan langka saat kami bertemu dengan rombongan orang yang sembahyang. Mereka lengkap dengan pakaian adatnya sembahyang menuju puncak dengan membawa sesajian yang lengkap.  Yang paling tidak disngka-sangka kami melihat mereka membawa hewan persembahan yang masih hidup. Ada Angsa, Ada pula anak kambing yang digendong di pundak, dan bahkan ada juga kerbau yag ditarik dan didorong menanjak melewati trek yang sangat terjal. Awalnya aku tidak percaya dan mengira itu mimpi, tapi akhirnya sadar bahwa itu nyata, setelah mendengar bunyi kambing dan kerbau itu. Kami tak habis pikir bagaimana mereka bisa membawanya sampai ke atas sana. pastinya membutuhkan perjuangan yang keras.
Kerbau ini yang membangunkan kami
Setelah sampai dipuncak pun kami beruntung bisa mendapatkan pemandangan yang luar biasa indah. Sungguh alam tidak bisa diprediksi, hujan yang tak hentinya mengguyur kami di perjalanan berhenti segera setelah kami sampai di puncak. Kami yang semula hanya ingin sampai dipuncak saja mendapat bonus pemandangan yang indah. langit seketika cerah, kami bahkan bisa melihat puncak Rinjani di pulau Lombok sebrang.
Gunung Rinjani terlihat mengintip
Yang terakhir pada bulan kemarin aku kembali mendaki gunung Agung bersama kawanku dari Mapala Brimpals, Palembang. Pendakian kali ini kami mencoba meraih puncak sejati via Pura Pasar Agung. Setelah dua kali mendaki hanya puas dengan puncak Pasar Agung, akhirnya aku bisa sampai di puncak Sejati Gunung Agung. Meski pemandangan di puncak tidak cukup bagus karena kabut, melalu jalur ini aku menemukan ladang bunga edelewis, sang bunga abadi.
Edelweis
Suasana perjalanan pun sangat berkesan. Hanya kami yang melewati jalur ini saat itu, karena memang belum ada yang banyak mengetahui jalur ini.
Hanya kami berempat dan beberapa monyet gunung

Akhirnya puncak sejati

Aku tidak tahu kapan akan menginjakan kakiku disana lagi. Rasa kangen selalu hinggap jika diingat-ingat suasana saat mendaki gunung ini. Rasa penasaranku pun tak pernah habis akan gunung ini. Apalagi ada beberapa jalur pendakian Gunung Agung lain lagi yang belum pernah aku coba. Sepertinya aku harus mencoba jalur –jalur pendakian itu lain waktu. Ya, aku ingin dan harus mendaki gunung Agung lagi. Apa tidak bosa ? Sekali lagi, jangan pernah tanyakan pertanyaan itu padaku, karena jawabannya jelas tidak, hehehe. Kalau pun aku berhenti sejenak karena itu hanya karena lelah, segera setelah kondisiku membaik aku siap untuk pendakian selanjutnya. Tidak jauh beda dengan kisahku dan jengkol hari ini, karena segera setelah tulisan ini selesai, aku akan lanjutkan kisahku itu mengingat perutku kembali lapar. Semur Jengkol aku datang.

Dapur Rumah
Minggu, 18 Desember 2016
Read More
    email this       edit
Published 9:33 AM by with 0 comment

Gunung Batukaru yang Bersahaja

Aku masih di sini di teras depan sekretariat kami menunggu hujan reda malam ini. Gemericik hujan rintik-rintik seakan menjadi irama pengantar menuju malam yang sunyi. “seruput” merdu bunyi kopi yang kuteguk pun menjadi pelengkap irama rintik hujan. Sambil menikmati kopi khas banyuatis di malam ini kupandangi hujan yang tak kunjung reda sedari tadi siang. Lama sekali hujan ini pikirku. Kadar kafein yang pekat dan has dari kopi menyadarkanku bahwa memang sudah saatnya musim penghujan akhir tahun 2016 tiba. Tak terasa sudah akhir tahun saja rupanya. Terlintas dalam benakku lembaran-lembaran kisah hidupku selama setahun ini. Semakin kuingat-ingat, semakin asyik pula kuteguk kopiku. “Serrrruuuppuuut” ku teguk lagi kopiku lebih dalam.
Aku yang tak bisa kemana-mana ini semakin khusuk  saja memandangi rintik hujan sambil membayangkan pengalaman selama setahun kebelakang. Rintik hujan perlahan turun ke ranting-ranting, membasahi dedaunan di pohon lalu kemudian jatuh menggenang di tanah. Hangatnya kopi dan pemandangan yang kusaksikan ini tidak disangka telah membawaku jauh terlempar dalam kenangan manis sebuah pendakian yang telah aku lakukan. Pendakian yang dimaksud adalah pendakian Gunung Batukaru via Pujungan awal tahun ini.  
Persiapan turun dan pembersihan jalur
Suasananya sama persis seperti sekarang ini, hujan sepanjang hari sampai malam, pepohonan dan tanah semua basah. Suhu terasa dingin, hanya kopi ditanganku yang hangat. Sepertinya Gunung dengan ketinggian 2.475 mdpl ini telah mendapatkan tempat khusus di benakku. Gunung kedua tertinggi di Bali ini telah menyimpan kenangan yang indah di balik hutannya yang lebat. Memang, setiap aspek dari gunung yang terletak di Kabupaten Tabanan ini bisa memberikan kekaguman tersendiri pada orang yang menikmatinya. Ada banyak hal menarik yang bisa kita alami saat mendaki gunung ini, mulai dari ke asrian hutannya, ramahnya penduduk sekitar kaki gunung, situs pura (tempat persembahyangan umat hindu) yang disucikan, dan trek terjalnya yang cukup menantang. Semuanya itu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi orang yang mendakinya.
Salah satu patung kuno

Sudah dari zaman dulu kala, gunung yang dulu menjadi tempat bertapa orang-orang suci memang punya tempat tersendiri di hati masyarakat sekitar gunung dalam hal ini masyarakat Kab.Tabanan. Terbukti bila kita lihat lambang Kab. Tabanan terdapat gambar gunung ini sebagai latarnya. Gunung non aktif ini nyataannya telah memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitarnya dengan sumber mata air dan sumber daya alam lainnya yang disediakan. Saat aku mendaki gunung ini terlihat jelas dimana hasil alam yang melimpah berupa perkebunan dan hasil hutan lainnya telah membantu kehidupan masyarakat disana. Alam dalam hal ini Gunung Batukaru telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Diantara gunung-gunung lain di Bali, gunung yang satu ini merupakan salah satu gunung yang masih asri hutannya. Salah satu penyebabnya adalah masih sedikit orang yang mendaki kesini dibandingkan dengan gunung lain seperti halnya Batur dan Agung. 
Trek yang jelas meski kanan kiri pohon lebat

Hal lain yang memberi kesan dari gunung ini ialah penduduk sekitar gunung yang bersahabat.  Sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa warga pedesaan yng tinggal di kaki gunung pasti ramah dan bersahaja dengan pendatang atau tamu. Ya, tak terkecuali dengan warga di sini. Aku punya pengalaman menarik dengan warga disini yang mendasari pandanganku tentang mereka. Pertama kali aku mendaki disini, aku turun dengan kondisi yang capek mengingat pendakian itu merupakan survey sekaligus aksi kecil-kecilan membersihkan sampah di gunung. 
Orang-orang kurang kerjaan :D

Hujan yang terus menerus semakin menambah berat beban barang bawaanku, ditambah gendolan sampah sebanyak 3 buah trash bag besar. Dan bagian yang mengharukan adalah disaat kami sampai dan istirahat di parkiran motor, seorang pemangku pura tanpa diminta membawakan kami 3 keranjang besar berisi makanan berupa buah-buahan, roti, telur dan makanan lainnya. Sambil melontarkan senyum tulusnya ia mempersilahkan kami untuk menikmati suguhan itu. Kawan-kawanku yang kecapekan dengan kondisi pakaian yang hancur lebur setelan khas ala pendaki gunung yang sudah berhari-hari di hutan, dengan lahap menikmati pemberian itu. Saat itu yang kupikirkan bukan pada pemberiannya. Meskipun aku tahu makanan itu adalah ‘lungsuran’ (makanan yang dipersembahkan untuk sebuah persembahyangan), namun aku melihat niat tulusnya yang bahkan masih berpakaian adat, hujan-hujanan, masih sempat ia memberikan makanan itu. Sungguh pengalaman yang mengharukan.
Makan boleh, tapi inget nafas
Satu hal lain yang lagi-lagi membekas dihatiku tentang Batukaru ini adalah suasana religious kental terasa. Bila mendaki gunung ini lewat Desa Pujungan, maka kita akan menemui Pura Besar yang satu terletak dikaki gunung sebelum mulai mendaki bernama Pura Malen dan kedua ada di Puncak yaitu Pura Pucak Kedaton. 

Sering diadakan persembahyangan disini. Hampir setiap hari , ada saja Umat hindu di seluruh Bali yang terlihat melakukan persembahyangan di sini. Dan pendakian pertamaku saat itu pun bertepatan  dengan hari besar bagi umat hindu saat itu yakni hari raya Siwa Ratri. Hari raya dimana umat hindu melakukan persembahayangan kepada Dewa Siwa, biasanya mereka tidak tidur semalaman. Kalau kalian tahu bagaimana rasanya pergi ke pesta dengan salah kostum, begitu lah yang kami rasakan kala itu. Orang-orang berpakaian putih-putih lengkap dengan perlengkapan persebahyangan telah memadati area parkiran dan halaman pura. Berbondong-bondong ada yang menunggu giliran, ada yang bersenda gurau dengan keluarga dan ada pula yang sedang makan sambil bercengkrama. Sedangkan, ketika pandangan diarahkan ke kami, sebaliknya pemandangan berputar 180 derajat. Kami dengan setelan khas pendaki gunung kere, dengan cerier 85 L isi full kokoh dipundak kami bersiap-siap untuk mendaki. Kami merasa kikuk awalnya saat semua mata tertuju ke arah kami, namun segera kami membiasakan diri. 
Bersama bapak pemangku, alumni sispala Prana Giri, cerrier kami, sampah plastik dan makanan yang sudah masuk ke perut :D
Itu lah yang terjadi saat itu. Mereka umat hindu melakukan persembahyangan di pura-pura yang ada di sana termasuk Pura Puncak Kedaton, di puncak Gunung Batukaru. Jadi sepanjang perjalanan kami beberapa kali menemui orang berpakaian adat, baik ia yang turun dan telah selesai sembahyang ataupun yang baru akan naik kepuncak. Uniknya mereka kepuncak dengan pakaian sembahyang seadanya dengan sandal dan kamben, sangat berbeda dengan kami. Bahkan, sampai di puncak pun kami habiskan malam bersama beberapa diantara mereka yang ‘mekemit’ (bergadang) di pelataran pura. Aku ingat betul sesekali kami saling diskusi dan sekedar berbagi kopi dan snack. Lelah dan pegal akibat trek yang terjal pun lumayan terobati dengan hangatnya diskusi kami kala itu. Betapa malam itu menjadi terasa khidmat sekali, hujan gerimis pun menjadi tidak terasa. Sungguh merupakan pengalaman pertama yang aku alami, mendaki dengan suasana religious yang kental terasa di Gunung Batukaru.

Itulah momen-momen yang terekam dalam ingatan tentang pengalamanku bersama Gunung Batukaru. Cukup berkesan untuk mengenalkanku lebih jauh tentang Bali dan keindahan alam dan budayanya. Dari gunung ini bukan hanya kepuasan sesaat akan keindahan sunset atau sunrise yang orang-orang cari saat mendaki gunung, tapi lebih dari itu nilai-nilai kehidupan banyak aku dapatkan. Bila ditarik satu garis kesimpulan, dari Gunung Batukaru aku belajar satu konsep umat hindu di Bali yaitu “Tri Hita Karana” yang berarti hubungan yang saling berkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan. Bila kita mampu menjaga hubungan tersebut dengan baik maka hidup akan terasa harmonis tentunya, kurang lebih seperti itu. Bila diingat-ingat kembali, kangen juga untuk mendaki kesana. Meski sudah 2 kali kesana, sepertinya aku tidak akan pernah bosan untuk kesana lagi lain waktu. 
Abaikan gaya rambut kami
“Srupuutt….putt…putt…” akhirnya aku tiba pada tegukan terakhir kopiku dan hanya menyisakan ampasnya yang menumpuk di dasar gelas. Hujan pun mulai reda hanya menyisakan tetesan-tetesan air hujan di dedaunan pohon depan halaman. Lamunanku tentang Gunung Batukaru pun berakhir pula, hanya menyisakan aku yang terduduk sendiri di teras ‘kandang’ (sebutan khas untuk sekretariat Mapala Lokasamgraha UNDIKSHA). Selain membuat badan hangat, sayangnya kini aku terkena efek lain kafein kopiku tadi. Aku menjadi tidak ngantuk meski jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Akhirnya kembali kubiarkan, imajinasiku melayang jauh lagi menembus malam, mengingat momen-moment menarik selama setahun ke belakang. Tidak ada kopi lagi yang menemani, namun kali ini gitar yang menyertaiku.

16 Desember 2016
Teras depan Sekretariat MPA LS UNDIKSHA
Read More
    email this       edit