Dec 19, 2016

Published 9:54 AM by with 0 comment

Aku, Gunung Agung, dan Jengkol

Akhir pekan ini, aku menyempatkan untuk pulang ke rumahku di desa untuk sekedar melepas rindu dengan keluarga, khususnya ibuku yang baru pulang benjenguk nenek yang sakit di kampung halaman, Karawang. kepulangannya membawa angin segar bagiku. Seharian ini siang dan malam aku dimanjakan dengan oleh-oleh makanan khas sunda, Jengkol yang dibawakan ibuku dari sana. Ibuku memasaknya spesial untukku yang sudah lama tidak mencicipinya, mengingat makanan ini jarang ada di sini. Mungkin lidah sunda yang kupunya yang membuat tidak ada kata bosan saat aku memakan jengkol. Pola makanku yang sudah tak teratur menjadi semakin tak teratur saat bertemu jengkol, hahaha. Tidak terhitung sudah berapa kali aku bolak-balik ke dapur untuk makan, tak terhitung pula keping jengkol yang aku lahap dengan olahan yang berbeda-beda. Hal ini akan terdengar aneh bagi sebagian orang yang tidak suka jengkol, khususnya teman-temanku di Bali. Lidah mereka tidak terbiasa dengan makanan beraroma menyengat ini. Tapi aku tidak peduli, mataku menjadi gelap seketika melihat semua masakan jengkol ini di rak makan. Yang aku tahu adalah seharian ini aku tidak akan pernah bosan dengan jengkol.

Kisahku dan jengkol hari ini, membuatku berpikir sejenak bahwa betapa aku sering melakukan hal yang sama berulang kali tanpa merasa bosan. Aku penasaran apakah orang lain pun pernah melakukan hal yang sama berulang-ulang kali tanpa ada rasa bosan hinggap dan sebaliknya malah mendapatkan kepuasan tersendiri? Kalau pernah, mungkin itu yang dinamakan dengan hobi. Aku yang duduk di lantai dapur sambil mengelus-elus perutku yang terisi penuh dengan si jengkol ini lalu teringat akan salah satu hobiku yang tak kalah aneh dengan jengkol tadi. Mendaki gunung, kegiatan ini telah menjadi hobiku sejak aku kuliah di UNDIKSHA dan bergabung dengan Mapala Loka samgraha, klub pecinta alam disana.

Seperti kisahku dan jengkol, tidak ada kata bosan bagiku untuk mendaki gunung. Hobiku ini telah menjadi candu bagiku. Setiap libur panjang, libur semester, atau hanya libur akhir pekan selalu aku sempatkan untuk mendaki. Meski belum begitu banyak pengalamanku dalam mendaki gununga, tapi pernah aku alami berbagai pengalaman unik dalam mendaki. Pernah aku mendaki 5 kali dalam kurun waktu 1 bulan tanpa rasa bosan dan lelah. Pernah pula aku mendaki gunung yang sama sebanyak 3 kali, gunung itu adalah Gunung Agung. Memang belum seberapa sih hehe, tapi buat orang orang disekitarku yang tidak pernah naik gunung selalu bertanya-tanya apa aku tidak bosan. Bosan ? aku rasa tidak, karena aku yakin dan memang demikian bahwa meski di gunung yang sama pasti kita akan mendapatkan suasana yang berbeda tak peduli berapa kali aku mendakinya. Coba mengutip perkataan soerang forest gump di filmnya yang mendeskripsikan tentang kehidupan “life was like a box of chocolates, you never know what you're gonna get” aku pun berpikiran bahwa gunung pun demikian adanya. Setiap aku mendaki past saja ada sensasi baru yang aku dapat, entah itu pemandangan, nilai moral, hal yang mengharukan, atau bahkan hal konyol yang akan terus mengundang tawa bila diceritakan. Gunung Agung yang bisa meyakinkan aku untuk berpikiran demikian. Meski baru 3 kali aku sampai di puncaknya, tapi kenangannya tidak akan habis diceritakan kawan. Di mulai dari upayaku yang terus gagal untuk mendakinya saat berbagai macam halangan yang datang, sampai akhirnya bisa berdiri di puncak tertingginya. 
Aku di jempol kaki Gunung Agung
Semua bermula pada tanggal 26 oktober 2014 saat itu aku diundang untuk hadir dalam acara pendidikan dasar sispala di Kubu, Karangasem. Tempatnya yang strategis berhadapan langsung dengan gunung yang satu ini kalau aku bilang sebagai jempolnya Gunung Agung. Megahnya puncak tertinggi Bali ini membuatku berpikir untuk mendaki gunung ini, namun masalahnya aku masih ragu dengan kemampuanku untuk berdiri disana. Sampai dimana aku merasa sanggup pun, impian itu belum juga terwujud. Kemudian, rencana awalku untuk mendaki Gunung Agung  pada tanggal 15 november 2016 sebulan kemudian pun berakhir gagal, karena ada persembahyangan.
Wajah lesu kami di Polsek Selat akibat gagal naik Gunung Agung
Pengalaman konyol itu  sepertinya buah dari kesombonganku yang akhirnya juga berangkat untuk mendaki Gunung Agung. Aku dengan sombongnya menggoda salah seorang ibu penjual jagung bakar di pinggar jalan. Bagaimana mungkin teriakannya dalam menjajakan jagung bakar aku jadikan bahan olok-olokan. “Jagung…. jagung… jagung…” teriakannya memanggil pembeli aku jawab seenaknya “iya bu saya mau ke agung” teman-temanku pun mentertawaiku. Akhirnya kami kualat dan gagal mendaki. Maafkan aku ibu penjual jagung.
Tanggal 1 Januari 2015 di Gunung Agung

Rupanya Tuhan berkehendak lain aku akhirnya bisa mendaki Gunung Agung untuk pertama disaat yang sepesial di malam pergantian tahun baru 2015. Dari atas aku menyaksikan langsung pesta kembang api di sebagian luas wilayah Bali. Luar biasa pkirku saat itu.  Sayang tidak ada kamera bagus yang bisa menagkap moment itu, tapi tidak dengan mataku yang merekam moment langka ini. Suasana indah awan yang bertebaran di bawah kami juga melengkapi pendakian saat itu.


Lain halnya dengan pendakian kuyang kedua, waktu itu aku mengantarkan kawan-kawan Mapala Garba Wira Bhuana yang sedang melakukan ekspedisi. Kami mengantarkan mereka ke Batur an Agung sekaligus. Walaupun diguyur hujan terus-menerus, banyak moment indah yang aku dapat.  Sunset yang cantik, saat kami memutuskan untuk bermalam di Telaga Emas.
Candid sambil menikmati sunset
Pengalaman unik dan langka saat kami bertemu dengan rombongan orang yang sembahyang. Mereka lengkap dengan pakaian adatnya sembahyang menuju puncak dengan membawa sesajian yang lengkap.  Yang paling tidak disngka-sangka kami melihat mereka membawa hewan persembahan yang masih hidup. Ada Angsa, Ada pula anak kambing yang digendong di pundak, dan bahkan ada juga kerbau yag ditarik dan didorong menanjak melewati trek yang sangat terjal. Awalnya aku tidak percaya dan mengira itu mimpi, tapi akhirnya sadar bahwa itu nyata, setelah mendengar bunyi kambing dan kerbau itu. Kami tak habis pikir bagaimana mereka bisa membawanya sampai ke atas sana. pastinya membutuhkan perjuangan yang keras.
Kerbau ini yang membangunkan kami
Setelah sampai dipuncak pun kami beruntung bisa mendapatkan pemandangan yang luar biasa indah. Sungguh alam tidak bisa diprediksi, hujan yang tak hentinya mengguyur kami di perjalanan berhenti segera setelah kami sampai di puncak. Kami yang semula hanya ingin sampai dipuncak saja mendapat bonus pemandangan yang indah. langit seketika cerah, kami bahkan bisa melihat puncak Rinjani di pulau Lombok sebrang.
Gunung Rinjani terlihat mengintip
Yang terakhir pada bulan kemarin aku kembali mendaki gunung Agung bersama kawanku dari Mapala Brimpals, Palembang. Pendakian kali ini kami mencoba meraih puncak sejati via Pura Pasar Agung. Setelah dua kali mendaki hanya puas dengan puncak Pasar Agung, akhirnya aku bisa sampai di puncak Sejati Gunung Agung. Meski pemandangan di puncak tidak cukup bagus karena kabut, melalu jalur ini aku menemukan ladang bunga edelewis, sang bunga abadi.
Edelweis
Suasana perjalanan pun sangat berkesan. Hanya kami yang melewati jalur ini saat itu, karena memang belum ada yang banyak mengetahui jalur ini.
Hanya kami berempat dan beberapa monyet gunung

Akhirnya puncak sejati

Aku tidak tahu kapan akan menginjakan kakiku disana lagi. Rasa kangen selalu hinggap jika diingat-ingat suasana saat mendaki gunung ini. Rasa penasaranku pun tak pernah habis akan gunung ini. Apalagi ada beberapa jalur pendakian Gunung Agung lain lagi yang belum pernah aku coba. Sepertinya aku harus mencoba jalur –jalur pendakian itu lain waktu. Ya, aku ingin dan harus mendaki gunung Agung lagi. Apa tidak bosa ? Sekali lagi, jangan pernah tanyakan pertanyaan itu padaku, karena jawabannya jelas tidak, hehehe. Kalau pun aku berhenti sejenak karena itu hanya karena lelah, segera setelah kondisiku membaik aku siap untuk pendakian selanjutnya. Tidak jauh beda dengan kisahku dan jengkol hari ini, karena segera setelah tulisan ini selesai, aku akan lanjutkan kisahku itu mengingat perutku kembali lapar. Semur Jengkol aku datang.

Dapur Rumah
Minggu, 18 Desember 2016
    email this       edit

0 comments:

Post a Comment