Dec 19, 2016

Published 9:33 AM by with 0 comment

Gunung Batukaru yang Bersahaja

Aku masih di sini di teras depan sekretariat kami menunggu hujan reda malam ini. Gemericik hujan rintik-rintik seakan menjadi irama pengantar menuju malam yang sunyi. “seruput” merdu bunyi kopi yang kuteguk pun menjadi pelengkap irama rintik hujan. Sambil menikmati kopi khas banyuatis di malam ini kupandangi hujan yang tak kunjung reda sedari tadi siang. Lama sekali hujan ini pikirku. Kadar kafein yang pekat dan has dari kopi menyadarkanku bahwa memang sudah saatnya musim penghujan akhir tahun 2016 tiba. Tak terasa sudah akhir tahun saja rupanya. Terlintas dalam benakku lembaran-lembaran kisah hidupku selama setahun ini. Semakin kuingat-ingat, semakin asyik pula kuteguk kopiku. “Serrrruuuppuuut” ku teguk lagi kopiku lebih dalam.
Aku yang tak bisa kemana-mana ini semakin khusuk  saja memandangi rintik hujan sambil membayangkan pengalaman selama setahun kebelakang. Rintik hujan perlahan turun ke ranting-ranting, membasahi dedaunan di pohon lalu kemudian jatuh menggenang di tanah. Hangatnya kopi dan pemandangan yang kusaksikan ini tidak disangka telah membawaku jauh terlempar dalam kenangan manis sebuah pendakian yang telah aku lakukan. Pendakian yang dimaksud adalah pendakian Gunung Batukaru via Pujungan awal tahun ini.  
Persiapan turun dan pembersihan jalur
Suasananya sama persis seperti sekarang ini, hujan sepanjang hari sampai malam, pepohonan dan tanah semua basah. Suhu terasa dingin, hanya kopi ditanganku yang hangat. Sepertinya Gunung dengan ketinggian 2.475 mdpl ini telah mendapatkan tempat khusus di benakku. Gunung kedua tertinggi di Bali ini telah menyimpan kenangan yang indah di balik hutannya yang lebat. Memang, setiap aspek dari gunung yang terletak di Kabupaten Tabanan ini bisa memberikan kekaguman tersendiri pada orang yang menikmatinya. Ada banyak hal menarik yang bisa kita alami saat mendaki gunung ini, mulai dari ke asrian hutannya, ramahnya penduduk sekitar kaki gunung, situs pura (tempat persembahyangan umat hindu) yang disucikan, dan trek terjalnya yang cukup menantang. Semuanya itu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi orang yang mendakinya.
Salah satu patung kuno

Sudah dari zaman dulu kala, gunung yang dulu menjadi tempat bertapa orang-orang suci memang punya tempat tersendiri di hati masyarakat sekitar gunung dalam hal ini masyarakat Kab.Tabanan. Terbukti bila kita lihat lambang Kab. Tabanan terdapat gambar gunung ini sebagai latarnya. Gunung non aktif ini nyataannya telah memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitarnya dengan sumber mata air dan sumber daya alam lainnya yang disediakan. Saat aku mendaki gunung ini terlihat jelas dimana hasil alam yang melimpah berupa perkebunan dan hasil hutan lainnya telah membantu kehidupan masyarakat disana. Alam dalam hal ini Gunung Batukaru telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Diantara gunung-gunung lain di Bali, gunung yang satu ini merupakan salah satu gunung yang masih asri hutannya. Salah satu penyebabnya adalah masih sedikit orang yang mendaki kesini dibandingkan dengan gunung lain seperti halnya Batur dan Agung. 
Trek yang jelas meski kanan kiri pohon lebat

Hal lain yang memberi kesan dari gunung ini ialah penduduk sekitar gunung yang bersahabat.  Sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa warga pedesaan yng tinggal di kaki gunung pasti ramah dan bersahaja dengan pendatang atau tamu. Ya, tak terkecuali dengan warga di sini. Aku punya pengalaman menarik dengan warga disini yang mendasari pandanganku tentang mereka. Pertama kali aku mendaki disini, aku turun dengan kondisi yang capek mengingat pendakian itu merupakan survey sekaligus aksi kecil-kecilan membersihkan sampah di gunung. 
Orang-orang kurang kerjaan :D

Hujan yang terus menerus semakin menambah berat beban barang bawaanku, ditambah gendolan sampah sebanyak 3 buah trash bag besar. Dan bagian yang mengharukan adalah disaat kami sampai dan istirahat di parkiran motor, seorang pemangku pura tanpa diminta membawakan kami 3 keranjang besar berisi makanan berupa buah-buahan, roti, telur dan makanan lainnya. Sambil melontarkan senyum tulusnya ia mempersilahkan kami untuk menikmati suguhan itu. Kawan-kawanku yang kecapekan dengan kondisi pakaian yang hancur lebur setelan khas ala pendaki gunung yang sudah berhari-hari di hutan, dengan lahap menikmati pemberian itu. Saat itu yang kupikirkan bukan pada pemberiannya. Meskipun aku tahu makanan itu adalah ‘lungsuran’ (makanan yang dipersembahkan untuk sebuah persembahyangan), namun aku melihat niat tulusnya yang bahkan masih berpakaian adat, hujan-hujanan, masih sempat ia memberikan makanan itu. Sungguh pengalaman yang mengharukan.
Makan boleh, tapi inget nafas
Satu hal lain yang lagi-lagi membekas dihatiku tentang Batukaru ini adalah suasana religious kental terasa. Bila mendaki gunung ini lewat Desa Pujungan, maka kita akan menemui Pura Besar yang satu terletak dikaki gunung sebelum mulai mendaki bernama Pura Malen dan kedua ada di Puncak yaitu Pura Pucak Kedaton. 

Sering diadakan persembahyangan disini. Hampir setiap hari , ada saja Umat hindu di seluruh Bali yang terlihat melakukan persembahyangan di sini. Dan pendakian pertamaku saat itu pun bertepatan  dengan hari besar bagi umat hindu saat itu yakni hari raya Siwa Ratri. Hari raya dimana umat hindu melakukan persembahayangan kepada Dewa Siwa, biasanya mereka tidak tidur semalaman. Kalau kalian tahu bagaimana rasanya pergi ke pesta dengan salah kostum, begitu lah yang kami rasakan kala itu. Orang-orang berpakaian putih-putih lengkap dengan perlengkapan persebahyangan telah memadati area parkiran dan halaman pura. Berbondong-bondong ada yang menunggu giliran, ada yang bersenda gurau dengan keluarga dan ada pula yang sedang makan sambil bercengkrama. Sedangkan, ketika pandangan diarahkan ke kami, sebaliknya pemandangan berputar 180 derajat. Kami dengan setelan khas pendaki gunung kere, dengan cerier 85 L isi full kokoh dipundak kami bersiap-siap untuk mendaki. Kami merasa kikuk awalnya saat semua mata tertuju ke arah kami, namun segera kami membiasakan diri. 
Bersama bapak pemangku, alumni sispala Prana Giri, cerrier kami, sampah plastik dan makanan yang sudah masuk ke perut :D
Itu lah yang terjadi saat itu. Mereka umat hindu melakukan persembahyangan di pura-pura yang ada di sana termasuk Pura Puncak Kedaton, di puncak Gunung Batukaru. Jadi sepanjang perjalanan kami beberapa kali menemui orang berpakaian adat, baik ia yang turun dan telah selesai sembahyang ataupun yang baru akan naik kepuncak. Uniknya mereka kepuncak dengan pakaian sembahyang seadanya dengan sandal dan kamben, sangat berbeda dengan kami. Bahkan, sampai di puncak pun kami habiskan malam bersama beberapa diantara mereka yang ‘mekemit’ (bergadang) di pelataran pura. Aku ingat betul sesekali kami saling diskusi dan sekedar berbagi kopi dan snack. Lelah dan pegal akibat trek yang terjal pun lumayan terobati dengan hangatnya diskusi kami kala itu. Betapa malam itu menjadi terasa khidmat sekali, hujan gerimis pun menjadi tidak terasa. Sungguh merupakan pengalaman pertama yang aku alami, mendaki dengan suasana religious yang kental terasa di Gunung Batukaru.

Itulah momen-momen yang terekam dalam ingatan tentang pengalamanku bersama Gunung Batukaru. Cukup berkesan untuk mengenalkanku lebih jauh tentang Bali dan keindahan alam dan budayanya. Dari gunung ini bukan hanya kepuasan sesaat akan keindahan sunset atau sunrise yang orang-orang cari saat mendaki gunung, tapi lebih dari itu nilai-nilai kehidupan banyak aku dapatkan. Bila ditarik satu garis kesimpulan, dari Gunung Batukaru aku belajar satu konsep umat hindu di Bali yaitu “Tri Hita Karana” yang berarti hubungan yang saling berkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan. Bila kita mampu menjaga hubungan tersebut dengan baik maka hidup akan terasa harmonis tentunya, kurang lebih seperti itu. Bila diingat-ingat kembali, kangen juga untuk mendaki kesana. Meski sudah 2 kali kesana, sepertinya aku tidak akan pernah bosan untuk kesana lagi lain waktu. 
Abaikan gaya rambut kami
“Srupuutt….putt…putt…” akhirnya aku tiba pada tegukan terakhir kopiku dan hanya menyisakan ampasnya yang menumpuk di dasar gelas. Hujan pun mulai reda hanya menyisakan tetesan-tetesan air hujan di dedaunan pohon depan halaman. Lamunanku tentang Gunung Batukaru pun berakhir pula, hanya menyisakan aku yang terduduk sendiri di teras ‘kandang’ (sebutan khas untuk sekretariat Mapala Lokasamgraha UNDIKSHA). Selain membuat badan hangat, sayangnya kini aku terkena efek lain kafein kopiku tadi. Aku menjadi tidak ngantuk meski jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Akhirnya kembali kubiarkan, imajinasiku melayang jauh lagi menembus malam, mengingat momen-moment menarik selama setahun ke belakang. Tidak ada kopi lagi yang menemani, namun kali ini gitar yang menyertaiku.

16 Desember 2016
Teras depan Sekretariat MPA LS UNDIKSHA
    email this       edit

0 comments:

Post a Comment