Nov 9, 2016

Published 11:13 AM by with 0 comment

Taman Baca Terpadu: Akselelator Pendidikan di Pelosok Desa

Pernahkah kita berpikir bahwa tidak cukup kaya kah Indonesia untuk membiayai pendidikan di setiap penjuru negerinya ? Pertanyaan lain yang mengusik benak kita adalah kenapa di umurnya yang ke 72 tahun Pendidikan di Indonesia masih belum merata secara menyeluruh ? Indonesia sebagai negara yang kaya semestinya tidak akan mengalami kesulitan dalam membiayai pendidikan dan meratakannya sampai ke pelosok negeri. Semua orang bahkan dari negara lain pun mengakui akan melimpah ruahnya kekayaan sumberdaya alam Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia adalah negara yang kaya. Tercatat sejumlah 20 % dari APBN dianggarkan untuk biaya pendididikan. Jumlah yang fantastis untuk sebuah negara berkembang. Namun mirisnya, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Indonesia merupakan negara berkembang yang masih memiliki daerah-daerah tertinggal dengan pendidikan yang masih terbelakang. Angka menunjukan kenyataan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia masih sangat membumbung tinggi, yaitu sebanyak 3,56 persen penduduk Indonesia atau sebanyak 5,7 juta orang masih buta aksara. Angka yang sungguh disayangkan.
Tidak sulit rasanya untuk memajukan pendidikan apabila pemerintah mampu mengerahkan tenaga semaksimal mungkin dan mengoptimalkan pembangunan dalam bidang pendidikan. Manajerial yang lemah lah yang menjadi poin permasalah. Inilah yang menjadi PR kita bersama. Tugas Pemerintah pusat dalam mengelola anggaran demi melaksanakan pembangunan pendidikan yang efektif. Tugas kita pula sebagai masyarakat secara umum untuk ambil bagian dalam mengawal kinerja pemerintah. Kalau memang pemerataan pendidikan terhambat oleh birokrasi yang berbelit, kemampuan manajerial yang lemah dari pemerintah pusat, kenapa tidak kita mulai dari Desa.
Desa diibaratkan sebagai sebuah akar yang menentukan kokoh tidaknya sebuah negara sebegai batang pohonnya. Dengan memaksimalkan fungsi dan potensi desa-desa diseluruh penjuru negeri, maka Indonesia hanya tinggal menunggu waktu untuk memanen hasilnya. Indonesia akan menjadi negara yang kaya tentunya. Desa bisa menjadi sumber kekuatan ekonomi dengan syarat pemerintah pusat mau mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Ironisnya sekian banyak potensi telah terabaikan dengan alasan terhalang dana yang tidak memadai. Salah satu dari sekian banyak potensi yang disayangkan belum dimaksimalkan ialah sumber daya manusianya (SDM).
Terkhusus di desa 3T (Terdepan, terpencil dan tertinggal) di seluruh Indonesia, pendidikan sebagai bentuk nyata dari upaya peningkatan SDM masih menjadi barang langka untuk diperoleh. Namun, akhir-akhir ini pemerintah memberi angin segar dengan adanya program 1 Miliyar untuk desa. Harapan pun mulai terbit dan menyinari keputusasaan masyarakat desa khususnya di desa 3T. Pemerintah telah menyiapkan dana desa tahun ini, dengan total nominal yang direncanakan sebesar Rp 20,7 triliun. Beberapa diantaranya sudah didistribusikan langsung ke desa. Dana yang difokuskan pada tiga poin penting yakni pembangunan yang meliputi infrastruktur, pendidikan dan kesehatan ini diambil langsung dari APBN. Dana ini nantinya diharapkan dapat dikelola secara mandiri langsung oleh desa terkait.
Adanya program dana desa ini mestinya menjadi peluang yang bagus untuk mempercepat geliat pendidikan di desa 3T. Namun, yang menjadi pertimbangan lain adalah membangun suatu sistem pendidikan yang baik tidaklah mudah. Semuanya harus dilakukan secara bertahap. Dana sebesar itu pun belum lah cukup untuk mancangkup setiap aspek pendidikan baik itu dari segi fasilitas penunjang pendidikan ataupun tenaga pendidik yang berkualitas. Dalam kasus di desa 3T dana sebanyak itu masih belum cukup untuk membangun pendidikan yang bisa dibilang dari ‘nol’. Maka dari itu, perlu direncanakan strategi yang tepat untuk memanfaatkan dana itu agar lebih effektif penggunaannya.
Memperhatikan skala prioritas dalam pengelolan dana desa  ini sangatlah diperlukan, mengingat tidak semua dana yang dikucurkan diperuntukan untuk pendidikan. Pemerintah di desa pun perlu bersinergi dengan seluruh elemen masyarakat dalam membangun pendidikan dengan dana ini. Setidaknya sebagian dana yang disisihkan cukup untuk merangsang percepatan pembangunan pendidikan. Rangsangan tersebut bisa dalam bentuk sebuah wadah pendidikan yang bisa menarik simpati elemen masyarakat lainnya untuk berpartisipasi aktif membantu. Tidak muluk-muluk membangun pendidikan di daerah 3T bisa dimulai dengan membangun sebuah Taman Baca  Terpadu. Ini merupakan Hal yang kecil namun sejatinya adalah hal mendasar bagi pendidikan di desa. Dengan adanya Taman Baca Terpadu ini akan memberikan rangsangan bagi setiap elemen masyarakat bahwa pendidikan itu penting. Dari sanalah akan timbul partisipasi aktif dari masyarakat untuk memajukan pendidikan di desanya.
Lalu kenapa harus berupa taman baca yang mejadi pilihan ? Sejauh ini bila ditilik lebih jauh lagi dari kebutuhan masyarakat Indonesia secara umum taman baca adalah pilihan utama. Saat ini minat membaca masyarakat Indonesia sangat lah rendah, begitu pula halnya dengan para anak-anak. Pada tahun 2011, UNESCO telah melakukan survey terhadap minat baca masyarakat Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan, minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001 persen. Ini berarti dari seribu masyarakat, hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat membaca. Padahal kita tahu bahwa kemampuan literasi merupakan salah satu indikator  kemajuan pendidikan di suatu negara. Kemudian jumlah fasilitas yang mendukung dalam meningkatkan minat baca pun sangatlah minim. Jangankan di pelosok desa, di Kota yang sudah maju saja, jumlah perpustakaan bisa dihitung dengan jari. Jumlah yang jauh bila di bandingkan dengan jumlah pusat perbelanjaan atau tempat hiburan lainnya. Sungguh menyedihkan sekali kondisi ini.
Alasan lain dipilihnya taman baca sebagai solusi percepatan pembangunan pendidikan ialah pebiayaan yang terjangkau dan realistis. Dana yang terbatas semakin menguatkan pilihan untuk membangun sebuah taman baca. Bila dibandingkan dengan membangun sebuah sekolah dengan fasilitas lengkap di sertai dengan tenaga pengajar yang berkualitas jauh sangat berbeda. Dana yang dihabiskan akan sangat melambung, sedangkan hasil yang diperoleh belum tentu sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Perlu diingat kembali bahwa dana desa untuk pendidikan pun dibatasi. Selain itu dari segi pengelolaan, taman baca ini tidak terlalu menguras upaya yang keras. Koleksi buku bisa disirkulasikan dengan taman baca dari perpustakaan lain. Kemudian dari segi pelaksanaanya, kedepan taman baca ini bisa dikembangkan menjadi pusat pembelajaran yang mengasyikan bagi anak-anak di pelosok. Oleh karenanya wadah ini diberi nama dengan Taman Baca Terpadu. Taman baca ini selain menyediakan buku-buku yang menarik untuk dibaca, juga menyediakan fasilitas taman bermain dan juga fasilitas penunjang lain seperti computer. Dengan demikian minat membaca khususnya bagi anak-anak di pelosok akan meningkat.
Kalau selama ini kita dipusingkan dengan permasalahan tentang buruknya sistem pendidikan formal di negeri ini, kenapa tidak kita perbaiki pendidikan melalui pendidikan informal? Pendidikan informal bisa menjadi lebih baik dari informal tergantung pada bagaimana kita mengelolanya. Sudah banyak bukti tentang kualitas lembaga pendidikan informal yang dibangun oleh pihak swasta.  Dengan menggandeng instansi lain atau LSM yang bergerak di dunia pendidikan stok buku berkualitas akan sangat mudah diperoleh. Ya, tidak hanya minat masyarakat dalam membaca meningkat, taman baca ini dapat merangsang elemen masyarakat lain untuk berpartisipasi aktif mensukseskan akselerasi pembangunan pendidikan di desa 3T.
Bayangkan bila hal ini direalisasikan di setiap desa khususnya di desa 3T, apa yang akan terjadi ? Nuansa gemar membaca akan terasa dalam setiap sudut desa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan di kalangan masyarakat semakin menigkat. Pemerintah akan melirik hal ini sebagai batu loncatan ke arah pendidikan yang lebih baik. Masyarakat melalui LSM, para pemerhati pendidikan mendapatkan lahan yang lebih luas untuk menyalurkan bantuannya, yang paling sederhana berupa buku. Pada akhirnya, dengan optimisme, pendidikan di desa 3T akan mengalami kemajuan yang pesat walau dari hal kecil berupa Taman Baca Terpadu.
    email this       edit

0 comments:

Post a Comment