Oct 27, 2017

Published 9:01 AM by with 0 comment

Kawah Ijen yang indah dan sadis

(Ada tangis di balik masker itu).
Pernahkah kalian merasakan betapa kematian hampir merenggut nyawa kalian? Bila pernah, tentulah saat itu kalian merasa takut kalau hal itu benar-benar akan terjadi. Setelah itu kalian akan bersyukur, menyadari bahwa Tuhan masih berbaik hati kepada kalian, dengan membiarkan kalian tetap hidup. Kejadian yang merupakan karma dari kelakuan kita sendiri itu akan merubah hidup kita selanjutnya. Kita tentunya akan belajar dari kesalahan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama kelak. Dari cerita tentang beberapa kawan yang aku temui malah ada yang sampai mendadak ingat orang tua, ingat dosa, dan ingat Tuhan.  Bagus sih, jadi ada hikmahnya ya, hehe. Aku pun demikian telah mengalami hal yang sama, parahnya tidak hanya sekali. Yang masih segar di ingatanku adalah saat aku merasa hampir mati keracunan asap belerang. Ironisnya tempat dimana tragedi itu menimpaku adalah salah satu tempat terindah yang aku temui. Tempat itu juga merupakan tempat yang menjadi perkenalan awalku dengan pesona gunung-gunung Indonesia di luar Bali. Tempat itu tak lain adalah Gunung Ijen, Banyuwangi. Ya, cerita ini kenangan saat kami berkunjung ke kawah Ijen tanggal 7 Juli 2016 silam.

Karma, sepertinya istilah itulah yang telah melanda kami saat itu. Semua bermula dari keberangkatan yang kurang mendapatkan restu dari keluarga kami. Kami berlima yang belum pernah mencicipi keindahan gunung ijen harus sedikit memaksakan diri berangkat meski di tengah-tengah suasana lebaran. Ya benar di Hari H lebaran kami melakukan perjalanan ini. Tidak heran kalau para orang tua kami banyak yang keberatan. Kami seolah tidak peduli dengan omelan mereka (dasar anak durhaka, hehe).   Kami berpikir bahwa kesempatan tidak akan datang 2 kali, dan kami melihat moment saat itu adalah momen yang sangat pas. Akhirnya, Berbekal niat yang kuat, kami berangkat tepat di hari H idul fitri, beberapa jam setelah shalat id. Kami bermalam di kediaman salah seorang kawan kami di Banyuwangi, sebut saja ingus. Ia lah yang akan menjadi guide kami. Di sana kami mengumpulkan tenaga kami sekaligus mengisi bahan bakar untuk badan kami dengan suguhan khas lebaran berupa jajanan yang tersaji rapi dalam toples. Saking banyaknya sampai memenuhi ruang tamu, dari mulai meja sampai lantai. Alhamdulliah, orang tua ingus menyambut kami dengan sangat baik, meski mereka sedikit tidak rela kalau anaknya harus pergi naik gunung. Maafkan jiwa muda kami bu-pak, tak hati sebenarnya harus mengganggu waktu keluarga mereka.

Singkat cerita kami pun berangkat ke pos pendakian saat kami enak-enaknya tidur. Maklum saja masih sangat pagi sekali kita berangkat sekitar pukul 1 dini hari, mengingat jarak dari rumah ingus di genteng ke pos pendakian kawah ijen lumayan jauh. Sesampai disana kami dikenai karcis masuk dua kali, di gerbang masuk kawasan dan di pos. Entah apa tujuannya yang jelas total biaya yang dikeluarkan untuk 1 orang sebesar 25 ribu. Kami mulai berjalan. Trek yang tidak terlalu terjal menjadi cukup berat bagi kami yang baru bangun dan masih kekurangan istirahat. Selama perjalanan baru kali itu aku menemukan penomena unik. Jadi di sepanjang jalur pendakian ijen banyak ditemukan lalu lalang para ojek gerobak yang siap mengantarkan para wisatawan yang tidak kuat mendaki dan memilih bermalas-malasan duduk di gerobak untuk kemudian didorong sampai ke puncak. Aneh juga ya, kalau memang tidak kuat naik gunung ya jangan naik gunung lah, pikirku. Menuh-menuhin jalan saja. Ah mungkin sudah menjadi rizkinya para bapak-bapak tukang ojek, biarkan sajalah.

Hercules nya kawah Ijen

Selain itu aku beberapa kali kami berpapasan dengan para penambang belerang dengan beban dipundak sampai puluhan kilo blerang. Wow.. sempat kucoba mengangkatnya, namun ironisnya pikulan belerang tak bergeming sedikit pun. krik.. krik..

Akhirnya sampai juga dipuncak. Satu kata yang terlintas di benak “indah”. Rekahan tanah ditepian lereng sebelah dalam kawah nampak indah seperti telah diukir oleh seniman menjadi sebuah konfigurasi yang manis dibalut warna tosca hasil dari endapan asap belerang. Terus kupandangi lereng itu semakin kebawah menuju kawah. Dan akhirnya mataku tertuju dan berhenti pada suatu objek laksana sebuah cawan besar berisikan air kehijau-hijauan. Itulah kawah ijen yang telah memaksaku meninggalkan keluarga di hari H idul fitri ini.

percayalah aslinya lebih keren
Sungguh indah kawah itu dipandangi dari kejauhan sini. Terlintaslah dalam benakku sekilas niat untuk turun dan menikmatinya dengan lebih intim. Niat itu kian didukung dengan daya tarik lain dari tempat ini, yaitu blue fire. Ahh kapan lagi aku kesini, pikirku. Tanpa berfikir lama lagi segera aku sewa masker alat bantu pernapasan, langsung aku berjalan turun. Sempat kubaca himbauan untuk tidak turun ke bawah. Tak sampai selesai kubaca himbauan itu poin demi poinnya, aku pun berjalan terus ke bawah dan tak peduli sama seperti ratusan orang lain yang sudah lebih dulu turun.
blue fire (asli bukan api kompor gas)
Disini lah bagian utama dari ceritaku ini. Karma yang kutanam sekian lama ini akhirnya sampai pada puncaknya yakni membawaku pada tepian jurang maut asap belerang kawah ijen. Percayalah kawan restu orang tua itu penting dalam setiap perjalananmu. jadikan ceritaku ini sebagai pelajaran atau kau akan mendapatkan karmanya sama seperti aku.

Kau tahu seberapa menyesakkannya asap ini? Kalau kau tahu bau asap yang dikeluarkan korek api kayu saat pertama kali dinyalakan, nah mirip seperti itulah baunya. Tinggal sekarang coba kamu nyalakan 10 batang korek sekaligus dan hisap asapnya, hisap dalam-dalam seolah tak ada udara lain lagi disekitarmu. Hmmm.. rasakan nikmatnya (jika benar dicoba berarti anda bodoh, hehe). Sesak sekali nafasku, masker yang kusewa 15 ribu tak berguna, rasanya ingin kubuang saja masker itu. Asap pekat belerang rasanya telah masuk jauh kedalam paru-paruku dan mengendap tak keluar lagi. Air mata sudah tak henti-hentinya sedari tadi mengalir. Menyesal sekali aku turun ke bawah pikirku.

Memang sih aku lihat phenomena blue fire. Namun harganya tak sebanding dengan nyawaku. Di rumahku pun ada blue fire yang biasa ibuku gunakan untk memasak. Tak perlu lah bertaruh nyawa hanya untuk melihatnya. Sempat terlintas raut wajah orang tuaku yang tak rela ditinggal anaknya pergi di hari H idul fitri ini. Cibiran tetangga, orang tua kawan setim perjalananku yang aku culik anaknya nampaknya telah hadir padaku dalam bentuk asap belerang. Inilah karma yang aku dapat. Tak lama setelah cukup puas berfoto, mengabadikan moment kebodohanku yang takan pernah aku lakukan lagi. Segeralah aku tinggalkan tempat yang mungkin takan pernah aku kunjungi lagi ini.
Syukur, aku maih diberi kesempatan untuk bernafas lebih lama lagi. Aku selamat dan turun sampai kembali ke rumahnya Ingus lagi. Aku pun pulang membawa kesan, pengalaman yang tak terlupakan dan satu lagi bau belerang yang tak hilang selama seminggu di setiap senti seluruh pakian yang aku kenakan saat mendaki. Sama seperti bau belerang, gelak tawa diantara kami pun tak henti-hentinya keluar saat kami kenang ketololan kami yang dengan bodohnya masuk ke zona berbahaya tanpa mempedulikan peringatannya.
senyum ternyesek sisa-sisa sadisnya asap belerang
Read More
    email this       edit
Published 7:03 AM by with 0 comment

Bidadari senjaku

Ia lah Bidadari senjaku, datang padaku dengan luka yang masih membiru
Namun masih bisa kulihat cahayanya, bersinar di kala ia tersenyum padaku
Di kala kejamnya dunia nyaris menghanyutkan aku ke dalam pilu

Hanyalah dia bidadari senjaku, datang padaku saat luka mematahkan sayapnya
Namun masih bisa ia hadirkan suka saat duka berganti tawa
Saat kasih sayang yang tulus penuh akan cinta hadir membasuh luka

Wahai bidadari senjaku, waktumu akan habis seiring senja berganti malam
Tak usahlah lagi kau hiraukan aku bocah kecilmu yang malang
Seorang diri hadapi teriknya mentari, arungi malam yang kelam

Wahai bidadari senjaku, Apalah dayaku bocah kecilmu yang lemah
Tak mampu kubalas kasihmu meski kuserahkan seluruh hidupku untukmu

Senja didepan rumah
Read More
    email this       edit

Oct 23, 2017

Published 9:23 AM by with 0 comment

Nyawa hampir melayang di Semeru (Dokumentasi)


Dibalik senyum manis dari kami tersimpan sebuah kenangan pelik nan berharga yang tak bisa kami lupakan seumur hidup kami
Disana kami hampir mati oleh ganasnya rimba. Namun semuanya akan kami jadikan pengalaman berharga untuk melanjutkan hidup kami.
 
Awal petualangan
bersantai setelah stress menunggangi Jip

Welcome to the junggle
Kawan baru selama perjalanan

Pertemuan tak terduga dengan kanda dari Bali

Menikmati pesona Ranu Kumbolo

Senyum sebelum nanjak
lelah terbayar sudah
Sudah naik Turun lagi
Canda tawa oro-oro ombo
Abaikan topi itu
Cemoro kandang
jangan lihat ke atas, puncak masih jauh!

Sampai juga



Read More
    email this       edit
Published 8:47 AM by with 0 comment

Sajak Pengisi Hati

Semua terjadi pada jalannya sendiri
Seperti ombak yang berdebur tak berhenti
Begitu pula gejolak cinta di dada ini
Wajahmu akan selalui menghiasi hati
Sampai kapan? Mungkin sampai nanti
Meski sampai ke puncak gunung tertinggi
Tak lupa namamu selalu kubawa pergi
Meski mungkin kelak ku ke luar negeri
Cincin ini kan selalu melingkar di jari

Sudah lama tak kulihat senyummu yang berseri
entah kenapa, terasa setahun padahal baru sehari
Ya, Sehari tanpamu hampir membuatku mati
Apa, kau bilang aku munafik? Aku tak peduli
Harus kuakui indahnya dunia takan berarti
Jikalau tak ada kamu dan senyummu menyertai

Harus kuakui pula aku hanyalah sang pemimpi
Segudang impian yang menunggu untuk diraih
tak tahu kapan bisa terwujud semua mimpi
Namun, kelembutanmu telah menuntun hati ini
Kau menyadarkanku dan menghapus semua perih
Denganmu di sisi, ku yakin suatu hari nanti
Mimpi-mimpiku kelak akan tergenapi
Ia akan nyata dan bukan hanya janji
Tak akan tertumpuk di sudut dan membasi

Teruntuk kekasih yang lama bersarang di hati
Terima kasih teruntuk semua hari
Yang telah kau beri hanya sekedar menemani
Terima kasih teruntuk suka dan perih
Yakinlah bersama semua bisa kita lalui
Tak banyak pesan dariku untuk mu terkasih
Cukuplah kau dan garis senyum yang hiasi pipi
Biarkanlah ia mengisi pagi hingga mentari pergi
Kumohon jangan biarkan ia mati
Menyisakan kepiluan yang menari-nari di pipi

Teruntuk mu seorang yang ada di hati
Tiada satu kata kutulis dalam sajak ini
Tanpa membayangkan wajahmu yang manis
Untaian kata ini tiadalah sanggup mewakili
Segenap apa yang bersarang di lubuk hati
Betapa tidak? Engkau yang terkasih
Khazanah cinta kasih ini sungguhlah murni
Mungki hanya Tuhan dan aku yang tahu isi hati ini
Sebelum kini kuakhiri sajakku ini
sudikaah kau berikan garis senyummu itu sekali lagi


Read More
    email this       edit

May 1, 2017

Published 9:08 PM by with 0 comment

Lamunan Ujung jalan

Tiba saatnya kita sampai di ujung jalan,
Ketika hati bimbang tentukan tujuan,
Di kala mentari mulai tenggelam,
Tinggalkan bulan arungi malam yang kelam,

Tiba saatnya, ayun kaki tak lagi perkasa,
Di saat hanya kejenuhan yang tersisa
Menatap indah cakrawala pun getir terasa
Sanggupkah ia bertahan menggapai asa ?

Masih disini setia dalam lamunanku
Sembari menyeret pedih memikul pilu
Menantikan Dewi Fortuna datang membantu
Bimbang, tuk berhenti dan kembali atau terus maju ?

Okt 16
Beranda mimpi
Read More
    email this       edit

Apr 23, 2017

Published 3:19 AM by with 0 comment

Hari Bumi : Saatnya Untuk Dewasa Menangani Sampah

Kondisi ex.pelabuhan Buleleng yang terus dilanda sampah.
Disaat bising suara motor perlahan mereda digantikan oleh senandung suara jangkrik yang silih bersautan, aku pun kembali menuangkan isi pikiranku dalam tulisan ini. Secangkir kopi dan sedikit gorengan buatan ibuku hadir menjadi penghangat suasana menemaniku arungi imaji. Indah sekali terasa hidup di sebuah desa yang cukup jauh dari hiruk-pikuk kota, tanpa polusi, (tanpa gadget juga tak masalah). Andaikan kalian pernah merasakan hidup di desa tentu kalian bisa membayangkan perasaanku saat ini... srrruputt (nikmat kuhirup kopiku)
     Aku sadari betul perkembangan zaman yang cepat, sedikit banyak akan mengeser semuanya. Desa tak akan se-tentram dan damai seperti yang aku rasakan sekarang. Nyatanya kini, derap langkah pembangunan telah merambat ke desa-desa. Salah satu contoh Persuhaan-perusahaan, hotel dan villa mulai tumbuh subur di setiap sudut desa. Sambil menghirup kopi, Aku pun mulai bertanya-tanya, akan seperti apakah desaku kelak? Apakah pembangunan ini semua akan berpihak pada kemaslahatan warga desa secara keseluruhan? Terlebih lagi yang terjadi di desa atau tempat lain secara luas, apakah pembangunan akan mampu memberikan manfaat yang merata bagi manusia dan lingkungan dimana mereka tinggal? Sudah cukup dewasa kah masyarakat dalam menghadapi imbas dari pembangunan itu sendiri?
     Pertanyaan-pertanyaan itu serta-merta muncul setelah sebelumnya aku teringat bahwa hari ini adalah tepat peringatan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April 2017. Berbicara soal Hari Bumi, berarti berbicara tentang keadaan Bumi kita saat ini. Sedikit serius bahasan kali ini ya? akibat dari kopi pekat tadi sepertinya hehe. bicara soal keadaan bumi tidak melulu tentang isu-isu yang saat ini hangat diperbincangkan seperti global warming, namun kita juga bisa melihatnya dari lingkup yang kecil. Kita bisa melihat dilingkungan sekitar kita sebagai cerminan kecil dari keadaan bumi kita saat ini. Di tempatku misalnya, betapa memprihatinkannya saat masyarakat di kabupaten Buleleng belum sepenuhnya sadar tentang peran fungsi sungai sebagai penyangga kehidupan. Buleleng dengan jumlah sebaran sungai yang cukup banyak harus rela kini sungai telah beralih fuingsi menjadi tempat sampah. Dari jarak 65 km dari rumahku ke kota singaraja saja terhitung ada hampir mencapai 100 aliran sungai. Ironisnya hampir disetiap jembatan dengan sungai dibawahnya penuh dengan tumpukan sampah pelastik. 100 bukan lah jumlah yang besar, karena kalian bisa dengan mudah menyebutkan tempat-tempat lain di lingkungan kalian yang memiliki masalah sampah yang sama. Bukan tanpa upaya, malah sudah banyak pihak yang  telah berusaha menangani masalah ini, namun hasilnya masih saja nihil.
     Aku jadi teringat dengan percakapan singkatku dengan seorang turis asing asal Hungaria yang bernama Ferow. Percapakan yang berlangsung di tengah perjalananku dari Lombok berlayar menuju Bali ini menjadi cambuk bagi ku. Bagaimana tidak, si bule ini menceritakan keluh-kesalnnya pada kita orang-orang pribumi yang dengan mudahnya membuang sampah kapanpun dan dimanapun tanpa mempeduikan dampak buruk yang mungkin saja terjadi. Muka ku memerah, kuping terasa panas, mendengar ocehan bule ini. Sambil menahan kekesalan ku karena kritikannya yang pedas, dengan sabar aku terus mendengarkannya sampai selesai. Akhirnya aku pun mengakui bahwasanya semua yang ia katakan memang benar adanya. Ia berbicara dengan bukti, laut yang penuh akan sampah plastik sepanjang perjalanan menjadi bukti. Yang lebih otentiknya lagi kami memergoki seorang anak muda yang dengan entengnnya melempar sisa botol minumannya ke laut sepersekian detik setelah ia habis meminumnya. Kami pun sepakat bahwa pada intinya masyarakat Indonesia belum dewasa dalam hal kesadaran akan lingkungan dan ditambah lagi peran pemerintahnya yan kurang menangani masalah ini.
      Sudah jadi rahasia umum bahwa masalah sampah plastik ini menjadi masalah kita baik di daerah bahkan di tingkat nasional. Memutus mata rantai ketidakdewasaan ini seolah sangat sulit dilakukan. Papan peringatan, teguran dan himbauan, bahkan sangsi tidak bisa membengkokan hati mereka yang sudah “lempeng” dengan mental bobroknya itu. Peran pemerintah juga dirasa sangat terbatas hanya bisa membuat aturan tanpa melakukan pengawasan yang ketat. Fasilitas penanganan sampah juga seakan dikesampingkan, lupa bahwa hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Di tempatku tinggal, slogan-slogan seperti “Buleleng bebas sampah pelastik” dirasa belum cukup membersihkan Buleleng dari sampah plastik. Perda Kabupaten Buleleng No. 1 Tahun 2013 tentang “pengelolaan sampah” Juga belum cukup menggentarkan niat para pembuang sampah nakal.
    Begitu kompleksnya masalah ini sampai harus memutar otak, memeras keringat untuk menyelesaikannya. Padahal hal ini sangat sepele bila dipikirkan dengan pola pikir sederhana, membuang sampah pada tempatnya tidak akan lebih susah dari mengenakan pakaian kita sendiri. Jika setiap orang bisa berpakaian rapi sudah semestinya mereka pun bisa membuang sampah pada tempatnya. Membuang sampah tak ada bedanya dengan memakai pakaian sebagai kebiasaan sehari-hari yang petut dibiasakan. Jadi, hanya orang yang tidak berpakaian sampai telanjang  telanjang bulat (seperti halnya orang gila) saja yang bisa diberikan toleransi tidak membuang sampah pada tempatnya.
     Membiasakan sesuatu menjadi sangat sulit bagi yang sudah memiliki kebiasaan yang kuat terpatri dalam dirinya. Akan sulit bagi para orang tua yang sudah punya kebiasaan buruk ini untuk dirubah. Sebaliknya, harapan masih terbuka untuk menanamkan kebiasaan baik pada para generasi muda. Maka solusi yang paling memungkinkan adalah mulai dari memberikan pendidikan kesadaran akan lingkungan sedini mungkin ditingkat keluarga maupun di pendidikan formal. Siapapun kalian entah itu orang tua, guru atau pun para generasi muda yang sadar akan pentingnya masalah ini, mari kita ajarkan kebiasaan baik pada anak-anak kita dalam hal berurusan dengan yang namanya sampah. Langkah-langkah berikut akan sangat ampuh bila diterapkan secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam memberikan pendidikan pada anak kita.
1.    Sediakan Tempat Sampah
Anak-anak akan lebih mudah terbiasa membuang sampah jika tersedia temat sampah. Mereka akan mengingat dimana ia harus mencari tempat sampah dan membuang sampah yang ia punya.
2.    Buang sampah pada tempatnya
Masa anak-anak adalah masa pembentukan kebiasaan yang terjadi di aktivitas sehari-hari. Ibarat kertas mereka adalah kertas kosong yang akan lebih baik jika diisi dengan kebiasaan baik seperti membuang sampah pada tempatnya. Ajak mereka untuk membuang samah mereka pada tematnya. Akan lebih mengena jika kita memberikan contoh langsung kepada mereka, seperti saat berkendara tidak membuang sampah seenaknya dijalan.
3.    Kelola sampah dengn bijak
Tentu kalian sering mendengar istilah reuse, reduce, and recycle. Hal ini juga bisa kita ajarkan pada anak-anak kita dari hal-hal sederhana seperti menggunakan goody bag  saat belanja, Tupperware untuk menyimpan minuman, dan membuat kerajinan sederhana dari sampah plastic. 
4.    Tegur bila melakukan kesalahan
Yang terakhiar adalah bagaimana pengawasan kita pada mereka karena menerapkan kebiasaan harus dilakukan secara berkelanjutan. Penting bagi mereka untuk mengetahui kesalahan mereka agar terpatri dalam benak mereka mana yang baik dan mana yang benar. 
Demikian tulisanku untuk Hari Bumi, Semoga saja bia menginspirasi untuk bumi yang lestari. Kalau ada yang punya solusi lain yang lebih ampuh boleh dishare juga :)  :D


22 April 2017
Di atas bangku depan rumah
Read More
    email this       edit

Apr 12, 2017

Published 11:08 PM by with 0 comment

Aku dan PPT (Para Pencari Toga)

        Sudah mengakar rasanya pantatku di lantai teras ini, kalau dihitung seberapa lamanya aku duduk di sini. Sudah memperihatinkan keadaan kedua bola mataku, yang tak kunjung aku istirahatkan untuk terus memandangi layar laptop usangku. Sudah hampir kekar tanganku pula ini bila ditimbang berapa banyak kata dan kalimat yang aku tulis berhalaman-halaman. Namun, seberapa banyak pun juga kata-kata tersebut rasa-rasanya tidak ada lagi yang bisa menggambarkan betapa bosannya aku sekarang. Kalau saja ada kata yang memiliki makna melebihi dari makna kata bosan atau muak, bisa jadi begitulah perasaanku saat ini. Ya, aku sudah sangat bosan menjalani rutinitas sebagai mahasiswa tingkat akhir dengan tumpukan tugas berupa proposal, instrument dan sekutu-sekutunya. Di teras depan sekretaiat UKM, di tengah hiruk-pikuk kehidupan para manusia pencari toga inilah aku habiskan waktu untuk bergulat dengan semua tugas itu. Dari mulai hari masih terang, perlahan berganti gelap, dan sampai hari kembali terang aku masih disini. Tampak terlihat raut-raut muka bosan dari orang-orang yang datang dan pergi, mungkin mereka bosan melihat sesosok mahasiswa ‘tua’ yang tidak mengenal waktu.
        Dari phenomena mahasiswa tua ini, aku berpikiran bahwa "Waktu" memang sangat cepat berlalu. Tidak terasa begitu lamanya aku duduk disini. Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku baru menyalakan laptop usang ini, nyatanya sudah hampir 2 hari pantatku bercokol mantap diatas singgasana ini. Aku yakin tidak sedikit yang pernah merasakan betapa singkatnya waktu seperti yang kualami sekarang. Sering juga aku temui orang entah itu kawan sejawat ataupun para orang tua yang sering mengungkapkan kepada ku betapa singkatnya waktu telah berlalu. Aku ingat ada seorang ibu-ibu seumuran nenekku, Aku biasa memanggilnya Bi Dedeh. Setelah sekian tahun lamanya tak bertemu, betapa kagetnya ia dengan keadaanku saat aku temui ia pada kesempatan mudik kala itu. “Subhanallah, eleuh-eleuh... kamu teh bener si wahab cucunya aki mansyur? Udah besar kamu ya… tinggi sekali euy, sepertinya teh baru kemarin kamu saya gendong-gendong” ungkapnya penuh dengan keheranan. “Terus sekarang mau gendong saya lagi Bi ?” candaku, disambut dengan gelak tawa.
        Teringat akan kejadian itu, aku pun semakin merasa singkatnya waktu yang aku lewati dalam kehidupan pribadiku. Aku teringat masa-masa dimana bermain masih memenuhi hari-hariku kala itu. Di sebuah kampung kecil jauh dari hiruk-pikuk kota tepatnya. Aku masih ingat betul suasana panen raya disana, bagaimana gatalnya bermain diatas tumpukan jerami, tajamnya sisa-sisa tanaman padi di lahan sawah kering yang kami jadikan lapangan bola, atau lezatnya belalang goreng yang aku tangkap, olah, dan santap sendiri. Perasaan senang nikmat dan bahagianya masih teringat betul seolah baru saja terjadi beberapa hari yang lalu. Oleh karenanya, tidak heran kalau Bi Dedeh tadi sampai mengekspresikan keheranannya seheboh itu.
        Aku kemudian berakhir pada kesimpulan bahwasanya memang benar adanya, waktu berlalu begitu singkat. Kesimpulan pun berujung pada kesadaran bahwa betapa singkatnya usia hidup rata-rata seorang manusia bila dibandingkan dengan waktu yang sudah dan terus akan berjalan. Kisahku dan Bi Dedeh tadi adalah contoh kecil yang menunjukan betapa singkat dan berharganya waktu yang kita miliki. Kini aku sadar banyak hal telah Aku lalui. Mimpi-mimpi yang tidak terwujud, yang sudah terwujud atau pun semuanya telah aku lalui tanpa disadari. Aku yang rasanya baru beberapa hari yang lalu, tidak lebih hanya seorang bocah ingusan kini telah beranjak dewasa. Lebih jauh lagi, masa- masa OKK (orientasi kehidupan kampus) yang rasanya baru kemarin aku lalui, kini aku disibukan dengan tanggung jawab sebagai mahasiswa akhir dan bersiap untuk lulus sebagai seorang sarjana (amin). Bersyukur semua berjalan lancar dan cepat pikirku. Impianku dulu pun akan segera terwujud dan Aku harus siap untuk beralih dengan impian-impianku yang baru telah aku rangkai. Impian yang menjadikan aku semangat menjalani hidup yang singkat ini.
        Tidak terasa hari semakin terang saja, suara motor para pejuang toga kembali meramaikan suasana kampus, dan aku pun harus segera bersiap untuk pergi ke sekolah untuk mengajar mengingat aku mahis harus menyelesaikan PPL-REAL. Aku pun harus mencukupkan dulu dengan skripsinya, aku akan lanjutkan lagi nanti. Begitu pula dengan tulisan ini, aku sudahi dulu dan sampai jumpa lagi di lain WAKTU.





13 April 2017
Di  teras depan Sekretariat MPA LS
Read More
    email this       edit